Home / PEMDES / Detail

Kades Arjasari Soroti Hak Prerogatif dan Rencana E-Voting Pilkades

Foto Penulis | HERI • Selasa, 23 Desember 2025 12:21 WIB
Kades Arjasari Soroti Hak Prerogatif dan Rencana E-Voting Pilkades

KAB. BANDUNG, (BR.NET).– Kepala Desa Arjasari, Kecamatan Arjasari, Rosiman, melontarkan sejumlah pandangan kritis terkait kebijakan pelaksanaan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) dan pengisian anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Hal tersebut disampaikannya dalam kegiatan Sosialisasi Kebijakan Pelaksanaan Pilkades dan Pengisian Anggota BPD yang diselenggarakan oleh Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Bandung, bertempat di Hotel Sutan Raja, Selasa (23/12/2025).

Dalam forum tersebut, Rosiman menyoroti rencana penurunan regulasi pemerintah, termasuk peraturan pemerintah dan peraturan menteri, yang menurutnya berpotensi mempersempit hak prerogatif kepala desa, khususnya dalam pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa.

“Kalau melihat sekilas regulasi yang akan diturunkan, pengusulan hak prerogatif kepala desa terkait pengangkatan perangkat desa yang harus mendapat persetujuan camat itu menurut saya rancu. Hak prerogatif kepala desa jadi terasa ngambang,” ujar Rosiman.

Ia menegaskan bahwa kepala desa merupakan pejabat politik yang dipilih langsung oleh rakyat, sebagaimana presiden, gubernur, bupati, dan wali kota. Karena itu, menurutnya, kewenangan kepala desa seharusnya tidak setengah-setengah.

“Kalau pengangkatan atau pemberhentian perangkat desa harus seizin bupati, itu masih bisa diterima. Tapi ketika semuanya harus melalui izin camat, kesannya ada intervensi langsung terhadap kepala desa,” katanya.

Selain soal kewenangan, Rosiman juga menyoroti rencana penerapan sistem e-voting dalam Pilkades. Ia mempertanyakan konsep dan urgensi penerapan sistem tersebut, terutama jika mekanismenya justru membebani anggaran.

“Kalau mekanismenya seperti kemarin, coblos lalu dimasukkan ke alat, itu justru pembengkakan anggaran dan tidak efisien. Alat e-voting itu mahal,” ujarnya, seraya menyinggung pengalaman pelaksanaan e-voting di beberapa daerah yang dinilainya belum efektif.

Menurut Rosiman, mekanisme Pilkades konvensional dengan pencoblosan manual di TPS justru lebih mencerminkan pesta demokrasi desa dan memberi dampak ekonomi bagi masyarakat kecil.

“Biarkan masyarakat datang ke TPS, mencoblos, pedagang kecil hidup, ekonomi kerakyatan jalan. Jangan neko-neko, benahi dulu yang ada,” tegasnya.

Ia juga mengingatkan potensi penyalahgunaan sistem elektronik dalam kontestasi demokrasi desa, terutama jika dijalankan tanpa kesiapan dan pengawasan yang kuat.

“Dalam sistem e-voting, incumbent sedikitnya bisa lebih diuntungkan. Ada peluang untuk mengutak-atik atau memanipulasi hasil jika sistemnya tidak transparan. Kita tahu, praktik demokrasi di Indonesia masih rawan kelicikan dan kecurangan,” ungkapnya.

Rosiman menekankan bahwa demokrasi sejatinya harus berjalan sesuai kehendak rakyat, bukan ditunggangi oleh kepentingan tertentu. Ia juga menilai penerapan sistem digital belum sepenuhnya cocok untuk kondisi masyarakat desa.

“Tidak semua masyarakat paham digitalisasi. Apakah mungkin seorang nenek atau kakek di kampung mahir menggunakan alat elektronik? Menurut saya, sistem elektronik belum pas untuk dipaksakan,” pungkasnya. ***

Tags:
Bagikan:

Komentar (0)

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama!

Tulis Komentar