Garut, (BR.NET).- Dalam lebih satu dekade pemerintahan Indonesia terakhir ini tak sedikit para pakar yang berpendapat begitu banyak posisi-posisi strategis sebagai penyelenggara negara justru diisi dari hasil akomodasi kompromi bukan lagi berdasarkan asas meritokrasi yang diambil dari putra-putri bangsa terbaik dalam birokrasi. Akibatnya potret Indonesia seperti yang kita lihat dan rasakan saat ini, penegakan hukum yang masih jauh dari rasa keadilan, juga keserakahan dalam wujud korupsi yang semakin terang-terangan, dan yang lebih ironis lagi data kemiskinan warganya seakan menjadi kesempatan untuk mendapatkan bantuan keuangan para pengelolanya. Sungguh hal ini jangan kita biarkan jika negara ingin tegak, kuat, maju dan hebat. Rabu 03/12/2025
Penempatan posisi penyelenggaraan negara tanpa menerapkan asas meritokrasi yaitu sistem yang mengutamakan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja maka dapat menimbulkan berbagai dampak negatif yang signifikan terhadap pemerintahan dan masyarakat.
Setidaknya ada 3 dampak sebagai konsekuensi dari memilih akomodasi ketimbang meritokrasi, meliputi:
A. Penurunan Kualitas dan Efektivitas Birokrasi
- Ketidakmampuan Mengelola Tugas: Pejabat yang ditunjuk berdasarkan kedekatan, politik, atau kekerabatan (nepotisme) alih-alih kemampuan sering kali tidak memiliki kualifikasi yang diperlukan untuk menjalankan tugas dan fungsi jabatan secara efektif.
- Kinerja Buruk: Kurangnya kompetensi akan berdampak langsung pada manajemen kinerja yang buruk, pengambilan keputusan yang tidak tepat, dan ketidakefisienan dalam pelayanan publik.
- Melemahkan Inovasi: Lingkungan kerja yang tidak adil dan tidak profesional akan menghambat semangat inovasi dan kreativitas di antara Aparatur Sipil Negara (ASN) yang berkualifikasi.
B. Meningkatnya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)
- Penyalahgunaan Wewenang: Sistem non-meritokrasi membuka celah lebar untuk penyalahgunaan wewenang, suap, dan gratifikasi, karena posisi bisa “dibeli” atau diberikan sebagai imbalan politik.
- Ketidakadilan dan Pilih Kasih: Praktik nepotisme dan favoritisme merusak prinsip keadilan dan transparansi, menciptakan diskriminasi dalam promosi dan mutasi pegawai.
- Pemerintahan yang Tidak Bersih: Ketiadaan meritokrasi menjadi salah satu penghalang utama dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, dan bebas KKN.
C. Dampak Sosial dan Politik
- Ketidakpercayaan Publik: Masyarakat cenderung tidak puas dan kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah dan layanan publik ketika melihat posisi penting diduduki oleh orang yang tidak kompeten.
- Ketimpangan Sosial: Sistem ini memperkuat ketimpangan dengan memberikan hak istimewa kepada kelompok tertentu, sementara orang-orang berbakat dari latar belakang lain dikesampingkan.
- Intervensi Politik: Karier ASN menjadi rentan terhadap intervensi politik dan tindakan sewenang-wenang dari atasan atau pejabat politik, yang merusak netralitas birokrasi.
Secara keseluruhan, penempatan posisi tanpa asas meritokrasi malah menerapkan sistem akomodasi apalagi kompromi menciptakan birokrasi yang tidak profesional, tidak efektif, dan korup, yang pada akhirnya merugikan masyarakat dan menghambat kemajuan negara. Dan diharapkan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) yang bertugas mengawasi penerapan sistem merit ini untuk menjamin profesionalisme ASN agar lebih jelas dan tegas perannya sehingga bisa mengoreksi kondisi para penyelenggaraan negara yang lebih baik.
Penulis: Pemerhati Kebijakan Publik













Discussion about this post