Tahun ajaran baru 2025–2026 di Jawa Barat dibuka dengan riuh perdebatan. Kebijakan Gubernur Kang Dedi Mulyadi (KDM) di dunia pendidikan memunculkan gelombang pro dan kontra. Mulai dari larangan study tour dan wisuda di luar sekolah, larangan PR bagi siswa, pengiriman siswa bermasalah ke barak militer, pemberlakuan jam malam pukul 21.00, masuk sekolah pukul 06.30 pagi, hingga penambahan jumlah siswa di sekolah negeri menjadi maksimal 50 orang per kelas.
Bagi sebagian orang, kebijakan ini terasa membatasi. Namun bagi saya, justru di sinilah letak tantangannya. Sebagai pembina Yayasan Pendidikan Prima Cendekia Islami (SMP PCI) di Baleendah, saya memilih memandang kebijakan tersebut dari sisi positifnya. KDM, saya yakini, tidak sedang mencari masalah. Ia sedang berusaha memberikan pemerataan pendidikan, terutama untuk masyarakat kurang mampu.
Kita harus jujur mengakui: tidak ada kebijakan publik yang bisa memuaskan semua pihak. Setiap langkah berani, apalagi yang melawan arus kebiasaan lama, akan memunculkan resistensi. Tetapi, jika niatnya baik, mengapa kita tidak mencoba menyesuaikan?

Di SMP PCI, kami sudah sejak awal tidak mengadakan study tour sekadar untuk jalan-jalan. Kami mengemasnya menjadi rihlah ilmiah yang jelas tujuannya. Kelas 7 berkunjung ke lembaga pemerintahan di Jakarta, kelas 8 ke Yogyakarta, dan kelas 9 ke luar negeri—mengunjungi KBRI di Singapura dan Malaysia. Pun, kegiatan ini bersifat opsional, tanpa paksaan biaya bagi yang tidak ikut. Guru pendamping datang untuk membimbing, bukan “nebeng piknik”.
Sebagai sekolah swasta, kami punya tanggung jawab moral untuk memberi layanan terbaik. Agenda pembelajaran kami rancang agar menarik, menyenangkan, sekaligus membuka wawasan siswa. Setelah MPLS dan Scout Camp, kami gelar Latihan Dasar Kepemimpinan OSIS, MABIP, Pesantren Ramadhan, Qur’an Camp, Talent Camp, Akademik Camp, hingga Sekolah Alam. Untuk siswi, ada program Friday Inspiring Women setiap Jumat, mengisi waktu saat siswa laki-laki shalat Jumat.
Yang menjadi kebanggaan kami adalah PCI Serial Lecture—kuliah umum dari profesor, doktor, pejabat negara, dan praktisi. Kami ingin siswa terbiasa berdialog dengan tokoh-tokoh besar. Mereka mendengar langsung kisah sukses, jatuh-bangun, dan inspirasi dari sumber pertama. Tahun ini, program dibuka oleh KH. Dr. Aam Amirudin, disusul tokoh nasional dan internasional, termasuk akademisi dari Mesir dan Palestina.
Tujuan kami sederhana: siswa PCI tumbuh berwawasan luas, percaya diri, dan tidak canggung menghadapi siapa pun. Dan yang terpenting, mereka punya motivasi kuat untuk menggapai cita-cita.
Bagi saya, inilah cara paling sehat merespons kebijakan KDM. Alih-alih mengeluh atau menentang, kami memilih meningkatkan kualitas internal. Jika sekolah negeri menambah jumlah murid, kami justru memastikan mutu pendidikan kami tidak goyah. Karena pada akhirnya, kualitaslah yang akan membuat orang tua tetap percaya pada sekolah kami.
Kebijakan bisa datang dan pergi. Tapi sikap kita dalam menyikapi kebijakan itulah yang menentukan apakah kita akan maju atau terjebak dalam keluhan tanpa solusi. ***
Discussion about this post