Rabu, 1 Oktober, 2025

Sidang Kedua Kasus Kekerasan Anak di MI Al-Gojali, Orang Tua Korban Kecewa Proses Persidangan

Kab. Bandung (BR.NET).— Sidang kedua kasus dugaan kekerasan terhadap anak yang melibatkan oknum Kepala Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al-Gojali, Ciparay, pada Kamis (14/8/2025), menyisakan kekecewaan bagi pelapor, Ida Yanti, dan rekannya, Neneng. Ida mengaku banyak kejanggalan dalam proses persidangan, mulai dari perubahan jadwal hingga prosedur yang dinilai tidak sesuai aturan untuk perkara anak.

WAJIBDIBACA

Ida menceritakan, sejak awal ia sudah mengetahui bahwa pengacaranya, Budi Rahman, tidak bisa hadir karena berada di Cirebon untuk menghadiri acara Muay Thai.

Pada Senin (11/8/2025), ia sempat menemui jaksa untuk memastikan sidang tetap berjalan.

“Saya tanya ke jaksa, kalau sidang tanpa pengacara boleh atau tidak. Bu jaksa bilang boleh, nanti beliau yang mendampingi,” ujarnya.

Namun, pada hari sidang, Ida terkejut ketika diberi tahu bahwa persidangan dimundurkan karena pengacaranya berhalangan hadir.

“Saya bingung, karena sebelumnya dibilang tanpa pengacara pun sidang bisa jalan. Tapi hari ini malah diundur,” ungkapnya.

Ida juga menyoroti jalannya sidang yang menurutnya tidak sesuai ketentuan perkara anak. Sidang yang seharusnya tertutup justru digabung dengan tahanan dewasa.

“Anak saya sampai pegang tangan saya, dingin sekali. Dia kelihatan takut,” kata Ida.

Selain itu, ia menilai pemeriksaan saksi anak terkesan terburu-buru.

“Banyak pertanyaan dari BAP yang dilewati. Hakim bertanya loncat-loncat, tidak semua dibacakan,” tuturnya.

Hingga sidang selesai, Ida mengaku tidak mendapat informasi resmi mengenai hasil maupun jadwal sidang berikutnya.

“Setelah hakim ketuk palu, kami langsung keluar tanpa penjelasan. Saya jadi tidak tahu kelanjutannya kapan,” ucapnya.

Kasus ini bermula dari laporan Ida Yanti kepada kepolisian atas dugaan kekerasan fisik dan verbal terhadap anaknya oleh oknum Kepala MI Al-Gojali. Sidang pertama telah digelar pada awal Agustus, namun bagi pihak pelapor, sidang kedua justru menimbulkan lebih banyak tanda tanya.

“Saya hanya ingin keadilan untuk anak saya. Tapi kalau jalannya begini, saya khawatir hak anak saya terabaikan,” tegasnya.

Ida berharap agar kasus ini dapat menjadi pelajaran bagi semua pihak. Ia ingin semua anak merasa aman dan mendapatkan pendidikan berkualitas tanpa adanya kekerasan di lingkungan sekolah.

“Saya berharap jaksa dan hakim menjunjung tinggi undang-undang di atas segalanya, khususnya pasal-pasal yang melindungi anak dari kekerasan. Jangan sampai hak anak saya diabaikan hanya karena prosedur yang tidak jelas,” pungkas Ida. (Tresa)

Berita Selanjutnya

Discussion about this post

KOLOM