Rabu, 22 Oktober, 2025

Kaca Benggala Pendidikan: Membandingkan Sistem Pendidikan Indonesia dan Jepang

BANDUNG (BR.NET)-, Pendidikan adalah fondasi utama kemajuan sebuah bangsa. Dua negara Asia, Indonesia dan Jepang, memiliki pendekatan yang sangat berbeda dalam membangun sumber daya manusia mereka melalui sistem pendidikan. Indonesia, dengan keragaman budayanya yang luas, berfokus pada pemerataan dan pembentukan karakter Pancasila. Sementara itu, Jepang, yang terkenal dengan kemajuan teknologi dan etos kerja, menekankan pada kedisiplinan, standar akademik yang tinggi, dan kemandirian.

WAJIBDIBACA

Membandingkan kedua sistem ini memberikan wawasan berharga tentang bagaimana perbedaan budaya dan prioritas nasional membentuk cara generasi muda dididik.

Struktur dan Jenjang Pendidikan
Perbedaan mendasar pertama terlihat pada struktur wajib belajar.

Indonesia: Menerapkan sistem 12 tahun wajib belajar yang relatif baru, mencakup 6 tahun Sekolah Dasar (SD), 3 tahun Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan 3 tahun Sekolah Menengah Atas (SMA) atau Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).

Jepang: Menerapkan sistem 6-3-3 (6 tahun Shōgakkō/SD, 3 tahun Chūgakkō/SMP, dan 3 tahun Kōtōgakkō/SMA). Namun, wajib belajar di Jepang secara formal hanya 9 tahun (SD dan SMP). Meskipun SMA tidak wajib, tingkat partisipasi siswa yang melanjutkan ke SMA sangat tinggi, mencapai lebih dari 98%.

Kurikulum dan Filosofi Pendidikan
Filosofi yang mendasari kurikulum di kedua negara menunjukkan perbedaan fokus yang signifikan.

Indonesia
Sistem pendidikan Indonesia telah mengalami beberapa kali perubahan kurikulum, dari KTSP, Kurikulum 2013 (K13), hingga yang terbaru, Kurikulum Merdeka.

Fokus Kurikulum: Kurikulum Merdeka berupaya memberikan fleksibilitas lebih besar kepada guru dan sekolah untuk menyesuaikan pembelajaran dengan kebutuhan siswa.

Muatan Wajib: Selain mata pelajaran akademik inti, pendidikan di Indonesia memberi penekanan kuat pada Pendidikan Agama dan Pendidikan Pancasila. Ini mencerminkan upaya negara untuk menanamkan nilai-nilai spiritual dan kebangsaan.

Penilaian: Penilaian bergeser dari Ujian Nasional (UN) yang terpusat menjadi Asesmen Nasional (AN) yang lebih fokus pada literasi, numerasi, dan survei karakter.

Jepang
Kurikulum Jepang (disebut Gakushū Shidō Yōryō) dikenal relatif stabil dan direvisi kira-kira setiap 10 tahun sekali.

Fokus Kurikulum: Standar akademik, terutama dalam Matematika dan Sains, sangat tinggi.

Pendidikan Moral dan Kemandirian: Yang unik dari Jepang adalah adanya mata pelajaran Doutoku (Pendidikan Moral) yang mengajarkan etika dan kehidupan sosial.

Kegiatan Khusus (Tokkatsu): Ini adalah pilar pendidikan Jepang. Melalui Tokkatsu, siswa belajar keterampilan non-akademik seperti kerja sama tim, tanggung jawab, dan kemandirian. Salah satu wujudnya yang paling terkenal adalah o-soji (waktu bersih-bersih), di mana siswa bertanggung jawab penuh membersihkan sekolah mereka sendiri, termasuk toilet dan ruang kelas, tanpa bantuan petugas kebersihan.

Budaya dan Kehidupan Sekolah
Kehidupan sehari-hari siswa di sekolah sangat mencerminkan budaya masing-masing negara.

Jepang
Kemandirian (O-soji): Seperti disebut sebelumnya, siswa membersihkan sekolah mereka sendiri. Ini menanamkan rasa memiliki dan tanggung jawab terhadap lingkungan.

Makan Siang (Kyushoku): Di banyak SD dan SMP, makan siang (kyushoku) disajikan secara seragam dan siswa makan bersama di kelas dengan guru. Siswa juga bergantian bertugas menyajikan makanan, mengajarkan mereka tentang layanan dan nutrisi.

Klub Ekstrakurikuler (Bukatsu): Bukatsu adalah bagian yang sangat serius dari kehidupan sekolah di Jepang. Siswa (terutama SMP dan SMA) diharapkan bergabung dengan klub (olahraga atau budaya) dan berlatih intensif setiap hari setelah jam sekolah, bahkan di akhir pekan. Ini membangun disiplin, ketahanan, dan kerja tim.

Bimbel (Juku): Karena persaingan masuk SMA unggulan dan universitas sangat ketat (dikenal sebagai juken senso atau “perang ujian”), banyak siswa mengikuti bimbingan belajar tambahan (Juku) setelah sekolah atau Bukatsu berakhir, seringkali hingga larut malam.

Indonesia
Layanan Sekolah: Sekolah di Indonesia umumnya memiliki petugas kebersihan dan kantin tempat siswa membeli makanan secara individu.

Ekstrakurikuler: Indonesia memiliki beragam ekstrakurikuler seperti Pramuka (seringkali wajib), OSIS, Paskibra, dan klub olahraga atau seni. Meskipun penting, intensitas dan tekanannya umumnya tidak se-ekstrem Bukatsu di Jepang.

Jam Sekolah: Sistem jam sekolah bervariasi, ada yang menerapkan sistem full-day school (sekolah sepanjang hari), ada pula yang selesai pada siang atau sore hari, tergantung kebijakan sekolah dan daerah.

Bimbingan Belajar: Bimbel juga sangat marak di Indonesia, terutama untuk persiapan ujian masuk perguruan tinggi (SNBT/UTBK), namun mungkin tidak dimulai sedini atau se-sistemik Juku di Jepang.

Status Guru dan Tantangan
Peran guru dan tantangan yang dihadapi kedua sistem juga berbeda.

Jepang: Profesi guru (Sensei) memiliki status sosial yang sangat tinggi dan dihormati. Proses untuk menjadi guru sangat kompetitif. Namun, guru di Jepang dikenal memiliki jam kerja terpanjang di dunia (versi OECD), karena mereka tidak hanya mengajar tetapi juga membimbing Bukatsu, melakukan kunjungan rumah, dan menangani administrasi yang berat.

Indonesia: Guru dijuluki “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” dan dihormati. Namun, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam pemerataan kualitas guru dan kesejahteraan guru, terutama di daerah terpencil (3T: terdepan, terluar, tertinggal).

Tantangan Utama
Setiap sistem memiliki tantangan uniknya sendiri:

Tantangan Indonesia:

Kesenjangan Kualitas: Perbedaan fasilitas dan kualitas pendidikan yang sangat jauh antara kota besar (Jawa) dengan daerah terpencil.

Infrastruktur: Masih banyak sekolah yang kekurangan fasilitas dasar.

Adaptasi Kurikulum: Perubahan kurikulum yang seringkali dianggap terlalu cepat dapat membingungkan guru dan siswa di lapangan.

Tantangan Jepang:

Stres Akademik: Tekanan “perang ujian” menyebabkan tingkat stres yang ekstrem di kalangan siswa.

Bullying (Ijime): Ijime adalah isu sosial serius di sekolah-sekolah Jepang yang seringkali sulit dideteksi dan ditangani.

Kekakuan: Sistem yang sangat terstruktur terkadang dianggap menekan kreativitas individu dan berpikir kritis.

Kesimpulan
Tidak ada sistem pendidikan yang sempurna. Indonesia dan Jepang telah memilih jalur yang berbeda berdasarkan kebutuhan dan nilai-nilai budaya mereka.

Jepang berhasil menciptakan angkatan kerja yang sangat disiplin, teliti, dan memiliki standar akademik tinggi, meskipun harus dibayar dengan tekanan mental yang besar pada siswa. Fokus mereka pada kemandirian dan tanggung jawab komunal (seperti o-soji) adalah pelajaran berharga.

Di sisi lain, Indonesia berjuang dengan tantangan pemerataan yang luar biasa di negara kepulauan yang sangat luas. Penekanan Indonesia pada nilai-nilai agama dan kebangsaan (Pancasila) bertujuan untuk menyatukan keragaman, sementara kurikulum barunya mencoba menumbuhkan fleksibilitas dan kreativitas.

Pada akhirnya, Indonesia dapat belajar dari Jepang tentang pentingnya menanamkan disiplin dan kemandirian sejak dini. Sebaliknya, Jepang mungkin bisa belajar dari upaya Indonesia untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih fleksibel dan seimbang. (Cep)

Berita Selanjutnya

Discussion about this post

KOLOM