Mengapa sebagian publik Dayeuh Bandung masih meragukan kemampuan Nia Naser untuk menjadi Bupati? Sampai disini gak ada yang salah jika Nia Naser, istri dari Dadang Naser yang menjabat sebagai Bupati aktiv, mencalonkan diri menjadi bupati. Itu hak setiap warga negara. Jangan gara-gara karena dia istri bupati dan putri mantan bupati sebelumnya, lalu haknya hilang dan gak boleh nyalon. Itu namanya memasung hak seseorang. Gak boleh. Lagi pula undang-undang juga tidak melarangnya.
Tapi Itu politik dinasti? Nanti dulu. Jangan buru-buru membuat stigma. Dibilang politik dinasti itu jika Dadang Naser intervensi dengan menggunakan kekuasaannya sebagai bupati. Misal, Dadang Naser panggil partai koalisi atau sejumlah pihak yang terkait dengan pilkada Dayeuh Bandung ke rumah dinas untuk dukung istrinya. Ini gak boleh. Sebab, rumah dinas itu milik pemerintah daerah dan atas nama rakyat. Namanya aja “rumah dinas” mesti dipergunakan untuk kedinasan. Gak boleh dipakai untuk kepentingan keluarga.
Jika Dadang Naser menggunakan aparat dan kekayaan negara untuk membantu pemenangan sang istri, itu baru politik dinasti. Kalau anda curiga, anda harus membuktikan. Kewajiban rakyat untuk mengawasi. Jangan ada Aparatur Negara yang ikut membantu untuk memenangkan Nia. Undang-undang dan atas nama demokrasi tidak mengharamkannya Gak boleh. Harus disemprit. Rakyat wajib mencegahnya. Dengan cara apa? Protes! Gak digubris? Tapi, setidaknya punya pengaruh terhadap pilihan rakyat.
Tapi, sebagai istri bupati dan putri bupati sebelumnya ikut mencalonkan diri jadi bupati, apakah itu etis? Apalagi menggusur kader partai yang sudah senior dan berpengalaman? Lagi-lagi, bukan soal etis tidaknya, bukan karena istri bupati atau putri mantan bupati. Salah kaprah. Kecuali sudut pandangannya diarahkan pada aspek pengalaman dan kematangan. Nah, dari sudut pandang ini, anda bisa menganalisis sisi etika itu.
Kalau anda menganggap Nia belum layak, simple saja kok, jangan dipilih. Bukankah persoalan memilih itu urusan rakyat. Sebagai rakyat, anda yang berhak menentukan suara. Tidak memilih juga gak apa-apa. Jika anda gak sreg, pilih saja calon yang lain. Gampang! Dalam demokrasi, setiap pemilih bebas menentukan pilihannya. Kalau warga Dayeuh Bandung menganggap Nia belum layak, ya jangan pilih. Simple bukan? Kalau anda pilih calon yang gak layak, berarti anda menjerumuskan Dayeuh Bandung ke dalam jurang kehancuran. Kasihan!
Soal Nia, anda jangan bandingkan dengan Puan Maharani. Ya beda jauh. Beda pengalaman dan beda kematangannya. Puan sudah puluhan tahun aktif dan belajar jadi kader partai. Menempa diri dengan berbagai pengalaman. Lalu jadi menteri, dan sekarang jadi ketua DPR. Gak diragukan soal kematangannya. Maka, sebaiknya Nia menempa dulu pengalaman politik dalam kancah parpol.
Nia juga beda dengan Indah Putri Indriani, Bupati Luwu Utara sekaligus bupati perempuan pertama di Sulawesi Selatan. Kapasitas akademik dan pengalaman politiknya, jauh berbeda. Tapi, jika Nia berhasil jadi bupati, Ia akan dikenang sebagai bupati wanita pertama sejak 397 tahun keberadaan Dayeuh Bandung.
Kesimpulannya, pertama, Nia punya hak politik. Dan ini dilindungi konstitusi. Kalau anda punya bukti ada politik dinasti, gugat. Itu kewajiban anda menyelamatkan negara. Jangan sampai negara melakukan intervensi dalam pilkada di Dayeuh Bandung. Itu saja. Kedua, dianggap layak atau tidak, matang atau karbitan, anda warga Dayeuh bandung punya hak suara. Berikan suara dengan obyektif. Itu bagian dari komitmen berbangsa yang baik. Jika anda menaruh suara ke calon yang tidak tepat, tidak layak dan tidak berkemampuan, itu penghianatan kepada bangsa dan negara.
Pilihan ada di tangan anda. Di tangan anda pula, nasib masa depan Dayeuh Bandung akan ditentukan. Jangan salah memilih. Jatuhkan pilihan dengan rasionalitas. Berikan suara kepada calon yang anda anggap punya kapasitas untuk memimpin Dayeuh Bandung. Setelah itu, anda baru berhak teriak “Aku Pancasila”. Jangan teriak “Aku Pancasila” kalau pilih kepala daerah asal-asalan.
Sapuk dan Tabik.( red**)
Discussion about this post