BANDUNGRAYA.NET | Secara teoretis, urgensi pilkada langsung adalah instrumen penting mewujudkan desentralisasi, dimana terdapat pemerintahan lokal yang terpilih secara demokratis dan semakin efektif dalam mengupayakan kesejahteraan masyarakat. Dalam Pilkada, kandidat dapat mencalonkan secara perseorangan atau dicalonkan oleh partai yang telah menerima dukungan partai, baik sendiri atau dalam koalisi, berdasarkan hasil dalam pemilu nasional.
Alasan mengapa kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum, pertama agar lebih konsisten dengan sistem pemerintahan presidensial. Sistem pemerintahan presidensial antara lain ditandai oleh pemilihan kepala pemerintahan secara langsung oleh rakyat.
Alasan yang kedua adalah untuk menciptakan pembagian kekuasaan yang seimbang dan saling mengecek antara DPRD dan kepala daerah/wakil kepala daerah. Salah satu ciri pemerintahan yang menganut pembagian kekuasaan yang seimbang dan saling mengecek adalah baik lembaga legislatif maupun eksekutif sama-sama dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum.
Pilkada langsung yang telah dilaksanakan di Indonesia yang dimulai 2005 dan pertengahan tahun ini tepatnya tanggal 27 Juni 2018 secara serentak diikuti oleh 171 daerah, bisa dimaknai sebagai suatu lompatan demokrasi yang bisa diartikan positif maupun negatif. Dalam pengertian positif, pilkada langsung sebagai sarana demokrasi memberikan kesempatan kepada rakyat sebagai infrastruktur politik untuk memilih kepala daerahnya secara langsung melalui mekanisme pemungutan suara. Sarana ini akan membuat keseimbangan dengan suprastruktur politik, karena melalui pemilihan langsung, rakyat dapat menentukan jalannya pemerintahan dengan memilih pemimpin yang dikehendaki secara bebas dan rahasia.
Dalam pengertian negatif, Pilkada langsung mencerminkan penafsiran sepihak atas manfaat dan proses pilkada. Proses ini sering dianggap sebagai ‘pesta demokrasi rakyat’ yang diartikan bahwa rakyat berhak dan bebas melakukan apa saja baik atas inisiatif sendiri maupun yang dimobilisasi oleh kandidat dan pendukungnya atau karena dorongan partai politik sebagai pihak yang mengajukan kandidat.
Bagi masyarakat umum, pilkada langsung sering juga ditafsirkan sebagai kesempatan bagi-bagi uang. Mereka tahu bahwa tiap-tiap kandidat menyediakan anggaran yang cukup besar untuk memenangkan kompetisi. Itulah fenomena politik uang dalam pilkada yang di tengah kegamangan ”lompatan demokrasi” tersebut cenderung ditoleransi keberadaannya.
Dengan alasan, kedua belah pihak baik kandidat maupun rakyat sama-sama membutuhkannya. Beragam alasan penyebab politik uang dan anggapan bahwa sepanjang tidak ada unsur pemaksaan dan intimidasi atau bentuk-bentuk kekerasan politik lainnya, praktek politik uang semacam itu biasanya sulit untuk ditindak atau dikenai hukuman, kecuali yang tertangkap basah.
Dari perspektif hukum, politik uang bisa dianggap sebagai perkara suap. Dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dalam penanganan perkara suap amat menitikberatkan kepada permasalahan pembuktian. Kekuatan pembuktian dalam kasus suap pilkada yang melekat pada setiap alat bukti perlu ditelusuri terlebih dahulu apakah tindak pidana itu benar-benar terjadi atau tidak karena bisa saja fakta-fakta yang dihadapkan kepada pihak penyidik dan hakim di persidangan oleh salah satu pihak dibantah oleh pihak lain.
Mekanisme penanganan perkara suap pada sistem peradilan pidana tetap mengacu kepada aturan hukum acara pidana (KUHAP) dan sebagai acuan sanksi pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa. Disamping itu, diperlukan keberanian para penegak hukum untuk melakukan terobosan dalam melakukan penyidikan dan pembuktian suap pilkada.
Untuk itu, minimal terdapat tiga cara yang dapat ditempuh untuk mencegah praktik suap, yaitu melalui mekanisme pelaporan dan audit dana kampanye pilkada langsung, penegakan hukum, dan melalui pengorganisasian pemilih (organize voters) oleh para pemilih sendiri Perlunya KPU dan KPUD yang akan menyelenggarakan Pilkada untuk menciptakan aturan hukum berupa Keputusan KPUD yang dapat mengurangi suap.
Seperti misalnya transparansi pencalonan dan penjaringan di tingkat partai politik dan pengaturan yang lebih jelas masalah dana kampanye.
Upaya mengatasi suap pada pilkada tidak saja menjadi peran dari para aparat penegak hukum untuk mengatasi problematika ini. Dibutuhkan peran semua pihak, khususnya dalam pihak-pihak yang berwenang dalam merumuskan sistem dan aturan hukum Pilkada yang dapat meminimalisir terjadinya suap untuk memangkas dan menghapus mata rantai money politic itu.
Misalnya, peran pengawas pemilu (BAWASLU) untuk hadir di tengah masyarakat dan memberi pemahaman yang benar merupakan hal sangat penting. Selain itu, keberanian masyarakat untuk melaporkan aktivitas politik uang, juga diperlukan suatu gerakan moral masyarakat agar memiliki kesadaran terhadap bahaya politik uang. Kesadaran inilah yang akan menyelamatkan masa depan demokrasi di negeri Indonesia tercinta ini. ***
Discussion about this post