Bandung (BR).-Pekan ini cukup menarik hadirnya dinamika organisasi PGRI di PGRI Kabupaten Bandung. PGRI Kabupaten Bandung minta segera diadakan Konferensi Luar Biasa (KLB) pada PGRI Jawa Barat. Desakan Konfrensi Luar Biasa (KLB) yang diusung oleh para Ketua Cabang melalui Surat Nomer 5/Ket.Cabang/PGRI/XII/2021.
Sebelumnya masih pada tahun yang sama, 15 November 2021 Saya membaca aspirasi dari PGRI Riau pada PB PGRI yang menyatakan “PGRI Riau Mosi Tak Percaya Pada PB PGRI”. Kedua apirasi ini setidaknya menjadi gambaran adanya dinamika yang harus diselesaikan di internal PGRI.
Organisasi adalah “organisma” hidup yang harus terus bertransformasi menjawab tuntutan alam perubahan dan aspirasi anggota. Apalagi di tubuh PGRI yang menarik iuran dari anggota. Anggota adalah pemilik kedaulatan dan pembayar iuran. Terutama pengurus cabang dan ranting, merekalah PGRI sebenarnya.
Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono pernah berteori terkait kekuatan dan kedaulatan POLRI adanya di Polsek. POLRI kekuatanya tidak di Mabes tapi di Polsek. Mengapa? Karena langsung menyentuh layanan masyarakat. Begitu pun PGRI kekuatan tidak di “Mabes” PB PGRI, tetapi di PGRI “Polsek” Cabang. Karena dunia guru ada di cabang. Iuran pun dari cabang.
Ketika Nadiem Makarim mengatakan sudah puluhan tahun ada tiga dosa besar di dunia pendidikan kita yakni intoleransi, kekerasan seksual dan perundungan. Begitu pun dalam tubuh PGRI ada tiga dosa besar sudah puluhan tahun masih terus terjadi.
Apa tiga dosa besar di PGRI? Pertama “perundungan” pada guru aktif. Guru aktif seolah tidak boleh menjadi ketua atau pengurus di jenjang kepengurusan PGRI Kota/Kabupaten/Provinsi dan PB. Sampai saat ini tidak ada guru murni (SD/SMP/SMA/SMK) menjadi ketua PGRI di jenjang Kota/Kabupaten/Provinsi dan PB.
Harusnya guru mendominasi kepengurusan PGRI mulai dari PGRI Kabupaten/Kota, Provinsi dan PB PGRI. Faktanya tidak! Ini sangat mengkhwatirkan bagi masa depan PGRI. PGRI harusnya kolaboratif mulai dari guru pensiunan, guru aktif dan pendidik lainnya. Idealnya 60 persen guru aktif, 20 persen pensiunan guru dan 20 persen pendidik lainnya.
Kedua, “kekerasan modus”. Tidak sedikit oknum kepala daerah ikut terlibat bersama oknum birokrat pendidikan dalam suksesi PGRI. Padahal PGRI sebaiknya tidak dipolitisasi. Tidaklah heran sejumlah oknum kepala daerah dan birokrat pendidikan melakukan “kekerasan modus” atas nama kekuasaan.
Biasanya para kepala sekolah dikumpulkan dan dintervensi oleh seseorang. Seorang calon yang konon katanya pesanan oknum kepala daerah harus dipilih. Bila tidak maka jabatan kepala sekolah akan bermasalah. Ini diantara “kekerasan modus”. Ketua terpilih atas pesanan oknum kepala daerah atau oknum disdik kelak akan dimanfaatkan dalam Pilkada.
Ketiga “intoleransi” dalam tubuh PGRI masih ada spirit “intoleransi” pada barisan guru muda kritis. Bila ada anggota PGRI sangat kritis dan seolah berseberangan pandangan terkait perjuangan martabat guru bisa di depak. Satu “cacat sejarah” seorang guru murni yang jadi pengurus di level PB PGRI bernama Caca Danuwijaya diberhentikan sepihak tanpa komunikasi. Ini “intoleransi” pada guru murni kritis.
Segala dinamika di internal PGRI harus dijadikan bahan asupan perbaikan organisasi. Terutama PB PGRI dimana tiap bulan ratusan juta uang anggota PGRI dari seluruh Indonesia mengalir. Kedaulatan PGRI setidaknya ada dua. Pertama di Kongres yang nuansa politis non gurunya kental dan kedua di anggota yang naturalis di setiap ranting dan cabang. Suara anggota di bawah lebih murni dari suara kongres non guru.
Saya Dewan Pembina PGRI, setiap hari bersama guru, bayar iuran dan pemilik PGRI bersama para guru anggota mendukung perubahan di tubuh PGRI. PGRI milik guru, harus dominan guru agar tidak dimanfaatkan non guru yang mempertahankan kehormatan dan cari nafkah di PGRI. PGRI sebaiknya diurus oleh guru berprestasi bukan non guru yang tak punya prestasi di tempat kerjanya.( red)
Discussion about this post