Kab. Bandung (BE.NET).- Upaya Pemerintah melakukan revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, menimbulkan polemik di kalangan jurnalis se-Indonesia. Sehingga hal tersebut menimbulkan reaksi pers di berbagai daerah.Rabu (29/05/2024)
Hal itu tidak terlepas lantaran saat ini, proses revisi tersebut telah memasuki tahap penyelesaian draf revisi UU Penyiaran. Saat dikonfirmasi, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Barat Hilman Hidayat,S.os ,M.Si Saat Pelantikan PWI Kabupaten Bandung, di Gedung Dewi Sartika
Revisi UU penyiaran nomor 32 pasal 50 B ayat 2 huruf c yang melarang penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi, menurut berpotensi membunuh kreatifitas media dalam menyajikan sajian yang berbeda dan rawan menjadi alat pemerintah menekan kebebasan pers.
“Secara keseluruhan PWI Pusat sudah menanggapi nya, bahkan pemberitaan nya sudah dimana mana ,Jadi PWI sudah mewakilkan kepada ahli ahli pers di PWI untuk melakukan Review melakukan penilaian dan berpendapat pada intinya secara garis besar sebagian pasal yang memang itu menganggu bahkan mengarah kepada kebebasan pers,jelas RUU itu harus dicegah terutama pasal itu supaya di revisi “ucapnya
Lanjut Hilman, akan tetapi secara keseluruhan RUU penyiarannya itu bagus karena konten-konten yang ada di Media Sosial di Platform itu harus ada regulasinya tidak bisa sebebas bebasnya , Sementara di media Pers aturannya begitu banyak , sementara di platform begitu bebas , hanya siapa yang mengurusinya itu, apakah masuk ke Dewan pers Komisi penyiaran atau sekarang ada wacana membuat Dewan Komisioner Media Sosial atau apalah namanya.
“Saya pikir sah-sah saja dan memang kalau terlalu kebebasan juga karena tingkat kesadaran masyarakat terhadap pers juga akan berimbas.”imbuhnya
“Kami menyayangkan sekali, di tengah banyaknya intimidasi dan intervensi terhadap pers, kemudian ditambah lagi dengan persoalan seperti ini. Revisi ini sangat mengancam aktivitas jurnalistik karena nantinya setelah disahkan, dikhawatirkan pers tidak bisa melakukan investigasi atau membuat program peliputan bersifat eksklusif terkait hal-hal yang berpotensi hukum. Sehingga ini akan menjadi gambaran bahwa adanya pihak yang ingin mengumpulkan demokrasi,” ujarnya,
“Kita tahu pers merupakan pilar demokrasi, sehingga tidak seharusnya aktivitas jurnalistik ditekan dengan revisi UU penyiaran ini. Padahal kita tahu selama ini banyak pengungkapan kasus yang berawal dari investasi. Karena tidak semua masyarakat berani bicara dan berani melaporkan temuannya ke publik,”sambungnya.
“Justru kasus-kasus penting yang sulit terungkap terkuak usai diinvestigasi oleh jurnalis. Kalau tak ada investigasi, lantas bagaimana media mau mengungkapkan sebuah persoalan, saya tidak yakin hal itu bisa diungkapkan dengan cara liputan wawancara biasa atau dalam sesi dorstop. Jika revisi itu disahkan maka kami melihat tidak tidak ada ubahnya dengan upaya Pengebirian Kebebasan pers,”katanya.
Selain itu, dikatakannya, adapun hal yang menjadi sorotan PWI Provinsi Jawa Barat yakni RUU Penyiaran digarap kilat dan diam-diam, RUU Penyiaran mengatur penyiaran internet, RUU Penyiaran melegalkan konglomerasi media, RUU Penyiaran membuat, RUU Penyiaran mengekang Kebebasan pers, RUU Penyiaran mengekang hak politik, sipil dan ekonomi, RUU Penyiaran mengekang kebebasan ekspresi dan berkesenian, RUU Penyiaran bukan melindungi tapi menyensor hak publik, karena Investigasi Reporting itu Jantungnya Media.”tandasnya
“Jurnalis ini sebenarnya masyarakat sipil kelompok masyarakat rentan, industri digital atau pelaku kesenian tidak dilibatkan dalam perencanaannya padahal berdampak langsung pada kelompok masyarakat tersebut. Dan ini juga tidak hanya terdampak pada jurnalis tapi pada konten kreator, influencer, selebram atau lainnya,”pungkasnya.(Gugum)
Discussion about this post