Maruarar menjelaskan, adanya indikasi kecurangan juga menjadi pertimbangan MK ketika menerima perkara sengketa pilkada yang selisih suaranya melebihi syarat ambang batas.
“Syarat ambang batas sendiri telah mendorong pasangan calon untuk mengejar selisih suara yang menjamin kemenangan mereka tidak bisa digugat ke MK,” terangnya.
Demi mengejar target tersebut, lanjut dia, paslon terkadang menggunakan cara tidak sah atau melanggar ketentuan penyelenggaran dalam undang-undang, serta melanggar hak-hak asasi pasangan calon tertentu.
“Oleh karenanya, agak berbeda dari masa sebelumnya ketika norma ambang batas mulai diterapkan, MK yang melihat masalah ambang batas dalam praktek, menyebabkan tidak senantiasa menyatakan permohonan yang jumlah selisih melewati ambang batas yang ada segera dinyatakan tidak dapat diterima,” jelasnya.
Jika ada petunjuk awal yang ditunjukkan dalam bukti-bukti yang menjadi lampiran permohonan, maka MK akan menunda sikap tentang ambang batas setelah memeriksa pokok perkara, untuk melihat benar atau tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran.
“Termasuk yang bersifat terstruktur, sistematis dan masif, dalam proses penyelenggaraan,” pungkasnya. (Red)
Discussion about this post