Sumedang (BR).- Ketua Paguyuban Perum Banyu Biru Permai (BBP), Tedi Asarudin, angkat bicara terkait Amdal, UKL, UPL, akses TPU, RTH, fasum dan fasos PT. Total Cipta Karya, serta polemik keluhan warga atas kondisi bangunan rumahnya yang rusak berat dan nyaris roboh, yakni blok A3 dan A4, Perum BBP Sumedang Utara.
“Atas nama warga, saya sangat menyesalkan sekali terhadap sikap pengembang dan Developer (PT. Total Cipta Karya) yang terkesan mengabaikan permasalahan yang ada,” ungkapnya kepada bandungraya.net, saat sedang memantau pembagunan mesjid di lingkungannya.
“Apalagi kita sangat prihatin dengan adanya musibah setahun yang lalu, ada dua rumah warga (blok A3 dan A4), yang hancur bahkan nyaris roboh bagian dapurnya, sewaktu itu hanya diperbaiki seadanya oleh penghuni rumah. Dikhawatirkan menjelang musim hujan mendatang hal tersebut akan memperparah kerusakan rumahnya. Mengingat dibawanya ada selokan air, dan tidak adanya TPT penyangga tebing, bukan tidak mungkin bakal terjadi longsor,” sambungnya.
Ia pun sangat menyayangkan atas sikap pengembang yang tidak respon cepat tanggap menangani kasus tersebut, untuk mengantisipasi segala hal yang tidak diinginkan.
“Seingat saya, dari awal pembangunan perumahan pada tahun 2021, sampai sekarang sudah memasuki fase akhir dan warga pun sudah banyak. Akan tetapi sarana dan prasarana belum memadai, salah satu contoh seperti pembangunan mesjid berukuran kecil saja (ukuran 6×6 meter) mangkrak, hingga saat ini masih sedang proses pengerjaan. Padahal pembangunan awal mesjid tersebut pada sekitar bulan Januari 2023,” terangnya.
Lebih lanjut, kata dia, akses pendukung lainya seperti halnya sarana air bersih, masih tetap saja dikelola developer dengan nominal yang cukup lumayan mahal.
“Begitupun, fasos dan fasum masih kurang memadai, yakni untuk Ruang terbuka hijau saja tidak layak pakai karena menggunakan tanah tebing disebelah jalan satu lajur dengan rumah pak Adhe yang sekarang sedang bermasalah,” tegasnya.
Tedi pun menuturkan, selain minimnya ruang terbuka hijau, sarana olahraga dan balai pertemuan juga tidak tersedia. Belum lagi masalah TPU yang belum jelas keberadaannya.
“Sesuai ketentuan seharusnya 2 persen dari luas tanah sesuai rencana pengembangan untuk Tempat Pemakaman Umum, itu wajib dan harus ada. Katanya sudah koordinasi dengan pihak desa, tapi pada kenyataannya masih simpang siur,” kata Tedi.
Diketahui, sesuai ketentuan pasal 50 angka 16 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 151 UU 1/2011 yang berbunyi sebagai berikut:
“Setiap orang yang menyelenggarakan pembangunan perumahan yang membangun perumahan tidak sesuai dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasarana, sarana, dan utilitas umum yang diperjanjikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).” (BR-10)
Discussion about this post