Oleh ASEP NURJAMAN
BANDUNGRAYA.NET | Sebuah keprihatinan yang mendalam apabila kita mengamati perkembangan masyarakat kita sejak era reformasi pada 1998 yang lalu, khususnya bila kita lihat dari perspektif sistem nilai yang semakin porak-poranda.
Indonesia hari ini sedang luka dan pedih oleh ulah para elit, pejabat publik, dan politisi. Mereka banyak terlibat dalam kasus-kasus korupsi, konflik kepentingan, dan kerapuhan birokrasi. Kita mungkin lelah, tetapi nasib Indonesia memang berada dalam jeratan praktik politik tanpa etika. Kondisi tersebut dikhawatirkan menjadi penyebab terjadinya apatisme masyarakat terhadap politik.
Apatisme adalah suatu sikap di mana tidak adanya simpati dan antusiasme terhadap sebuah objek. Apatis juga bisa diartikan sebagai sikap cuek atau tidak peduli. Jadi dapat dikatakan bahwa apatisme politik adalah rendahnya simpati dan antusiasme terhadap perkembangan politik yang berujung pada sikap tidak peduli.
Apatisme memang bukan barang baru dalam panggung perpolitikan Indonesia. Apatisme politik sudah ada sejak dulu namun baru mulai dibahas ketika masa reformasi di mulai. Hingga kini apatisme politik tetap menjadi suatu hal yang masih layak untuk dibahas. Apalagi saat ini merupakan era Digital di mana setiap orang bebas mengakses informasi dan bebas menyuarakan pendapat di media sosial.
Apatisme politik tidak bisa dipandang remeh mengingat Indonesia adalah negara demokrasi di mana masyarakat bebas menyampaikan pendapatnya terhadap penguasa. Maka dari itu, partisipasi masyarakat sangat diperlukan demi tercapainya Indonesia yang sejahtera. Pengamat Politik Internatsional yang sangat kritis, Noam Chomsky mengatakan bahwa apatisme politik bisa memberikan dampak buruk bagi masyarakat ataupun pemerintah. Selama masyarakat bersikap pasif, apatis, dan teralihkan oleh konsumerisme atau kebencian dalam sekam, penguasa akan berbuat sesuka hati dan mereka yang dapat bertahan akan dibiarkan untuk merenungkan akibatnya.
Oleh karena itu, sebagai warga negara Indonesia yang baik, hendaknya untuk lebih memahami tentang kondisi politik di Indonesia. Hindari bersikap apatis dan tanamkan kepedulian terhadap gerakan politik di Indonesia. Bersikap apatis sama sekali bukan identitas bangsa Indonesia karena kemerdekaan tak akan pernah direbut jika masyarakat Indonesia di masa itu bersikap apatis.
Dalam upaya untuk memahami kondisi politik di Indonesia sekaligus mengantisipasi sikap apatisme maka masyarakat diperlukan mendapatkan pendidikan politik secara benar. Pendidikan Politik sebaiknya di mulai dari kalangan remaja sebagai tulang punggung negara karena di pundak merekalah masa depan bangsa ini akan digantungkan.
Penanaman konsep politik pada usia remaja terutama kalangan siswa SMA sangat penting agar mereka tidak mendapat konsep yang salah dan keliru tentang politik. Alasan lain penanaman nilai-nilai politik bagi kalangan SMA adalah bahwa dalam konteks Pemilihan Umum di Indonesia, siswa SMA terutama kelas XI dan XII telah memenuhi syarat sebagai pemilih pemula, karena telah berusia 17 tahun. Di samping itu, pentingnya pendidikan politik pada masa remaja terutama bagi kalangan siswa SMA sangat menentukan tingginya tingkat kesadaran politik seseorang.
Semakin awal seorang individu mendapat pembelajaran tentang politik maka semakin tinggi kesadarannya untuk mau berpartisipasi langsung dan mampu untuk mengemban tanggung jawab sebagai warga negara yang baik.
David Easton (Pakar Ilmu Politik yang terkenal saat ini mengatakan bahwa ‘salah satu kondisi fundamental untuk mempertahankan suatu sistem politik adalah bahwa ketika generasi muda dalam suatu masyarakat menginjak dewasa, mereka harus menguasai ilmu pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap-sikap sebagaimana diharapkan oleh para anggota dan sistem yang ada’.
Berdasarkan pendapat David Easton tersebut, terlepas dari apakah sistem politik negara tersebut baik atau buruk, jika sistem tersebut ingin tetap berlanjut, maka dalam arti secara luas sistem tersebut harus mampu mendidik anggota masyarakatnya, terutama generasi muda untuk memainkan peran-peran tertentu yang diharapkan dari mereka.
Pendidikan politik memegang peranan penting untuk dapat mendidik generasi muda agar mendapat pemahaman yang jelas terhadap berbagai konsep dan simbol politik, terutama dalam membentuk kesadaran politiknya. Pendidikan politik menjadi sarana bagi para pemuda untuk mematangkan pemahamannya terhadap orientasi politik fundamental yang mesti dimiliki untuk dapat membentuk kesadaran politik yang tinggi.
Kesadaran politik yang dimiliki seseorang tidak datang dengan sendirinya namun melalui proses yang panjang. Walaupun keluarga, media massa, dan pengalaman politik turut menentukan proses pembentukan kesadaran politik seseorang, namun peranan lembaga-lembaga pendidikan pun tidak bisa dikesampingkan. Proses tersebut dapat diperoleh melalui berbagai jalur pendidikan baik itu jalur formal maupun jalur informal. Dalam jalur formal, yaitu melalui jalur persekolahan, seorang individu dapat lebih mudah mengenal dan rnengetahui konsep-konsep tentang politik karena telah direncanakan dan telah disusun secara terperinci melalui kurikulum yang ada.
Kurikulum di persekolahan sebagai komponen terpenting pendidikan, pada dasarnya dapat dijadikan media pendidikan politik untuk menanamkan dan membentuk tumbuhnya kesadaran politik. Hal ini didasarkan dari sumber utama pembuatan kurikulum di lembaga pendidikan tersebut. Sudijono Sastroatmodjo dalam bukunya yang berjudul ‘Perilaku Politik (1995) memberikan komentarnya mengenai hubungan pendidikan dengan tingkat kesadaran politik seseorang sebagai berikut:
Tingkat pendidikan memiliki peranan penting dalam rneningkatkan kesadaran politik. Makin tinggi tingkat pendidikan masyarakat menjadi makin tinggi kesadaran politiknya. Demikian sebaliknya, semakin rendah tingkat pendidikan masyarakat maka makin rendah pula tingkat kesadaran politik masyarakat.
Siswa mendapat pengetahuan dan pemahaman politik di sekolah melalui pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Memang dapat dikatakan bahwa semua mata pelajaran memiliki tujuan yang baik yaitu mendidik siswanya agar dapat menjadi warga negara sesuai harapan. Namun pada dasarnya mata pelajaran yang secara khusus mendidik siswa untuk menjadi warga negara yang baik (to be good citizenship) dibebankan kepada Pendidikan Kewarganegaraan karena materi yang termuat di dalamnya banyak mengangkat tentang politik.
Sekolah dengan berbagai perangkatnya antara lain kurikulum, buku-buku teks, metode pengajaran, organisasi-organisasi yang ada di sekolah, lingkungan kelas, siswa, guru, struktur administrasi dan lain-lainnya, dapat secara eksplisit maupun implisit terkait dengan transisi orientasi politik fundamental. Orientasi politik fundamental biasanya terbentuk pada usia dini.
Orientasi politik yang terbentuk pada usia tersebut akan berakar sangat kuat dan terus berlanjut sepanjang hayat, terkecuali jika terdapat lingkungan sangat kuat yang mempengaruhi individu tersebut.
Aspek pendidikan politik bukan hanya meliputi aspek kognitif saja namun juga harus melibatkan aspek afektif dan aspek psikomotor. Oleh karena itu, mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dianggap tepat karena secara langsung mampu memberikan fasilitas yang lengkap bagi siswa untuk dapat mengembangkan ketiga aspek tersebut dalam memahami berbagai konsep tentang politik.
Di antara nilai-nilai pendidikan politik yang dianggap bisa diinternalisasikan di sekolah adalah demokrasi, tanggung jawab, partisipasi, dan etika politik. Orientasi Pendidikan politik yang terbentuk pada siswa mulai jenjang SMA tersebut diaharapka akan berakar sangat kuat dan terus berlanjut sepanjang hayat dan terhindar dari sikap apatis. Sehingga kelak menjadi pemimpin bangsa yang etik dan bertanggungjawab dan membawa Indonesia lebih maju dan beradab. ****
Discussion about this post