Tampilnya Kurnia Agustina Naser (Nia) dalam bursa Calon Bupati adalah “produk kegagapan politik”. Di tengah derasnya artikulasi arus pro-perubahan di Dayeuh Bandung dan gaung sentimen anti dinasti secara nasional yang nyaris menjadi trend dan head line semua jenis media pemberitaan saat ini, Nia tetap “keukeuh” dan bergeming untuk melaju bertarung dalam pilkada Dayeuh Bandung. Selain pertimbangan menjaga kontinyuitas kekuasaan, bisa jadi persoalan terbebani dosa politik masa lalu juga menjadi kalkulasi yang menguatkan Nia ikut berkontestasi. Namun, untuk itu jalannya tidak mudah. Diperlukan upaya yang tidak sederhana untuk mengup-gradenya sebagai “dagangan politik” yang memikat.
Untuk publik Dayeuh Bandung, pencalonan Nia ini tentu tidak mengagetkan atau mengherankan. Jauh-jauh hari menjelang pencalonannya ini sudah dapat diprediksi, kendati di awal-awal sang bupati, Dadang Naser, sekaligus ketua Partai Golkar (PG) Kabupaten Bandung menyangkal ihwal keikutsertaan Nia di Pilkada 2020 ini. Pernyataan Dadang Naser ini seakan memberi sinyal terbuka bagi kader-kader PG lainnya untuk ikut dalam bursa pencalonan dari PG. Maka sejumlah nama pun terdorong mendaftar sebagai bacalon dari PG. Nama-nama seperti Dadang Supriatna, Deding Ishak, Yoga Santosa, atau Anang Susanto berminat dan ikut mendaftar meramaikan bursa pencalonan.
Namun, di tengah jalan bandul politik berubah. Dadang Naser seperti “menjilat ludah kembali”. Ia justru mengorbitkan dan mendeklarasikan Nia sebagai bacalon kepala daerah dari PG. Entah bagaimana mekanisme internal PG yang dilakukan, Nia ujug-ujug menjadi pemenang. Padahal, dalam hasil survey dan poling sebelumnya, sama sekali nama Nia tidak pernah masuk dalam daftar yang memenuhi entri elektoral. nama Nia lebih dikenal sebatas Ibu penggerak PKK atau Posyandu mendampingi sang suami yang bupati.
Atas kenyataan ini, nama-nama kader PG yang telah mengajukan diri sebelumnya sebagai bacalon kepala daerah menjadi tersentak. Mereka seperti “dikhianati” oleh Dadang Naser sebagai ketua PG Dayeuh Bandung atas pernyataannya yang sebelumnya menyatakan tidak akan mengajukan istrinya sebagai bacalon bupati. Dalam kasus ini, Dadang Naser diibaratkan “menggunting dalam lipatan,” “menjeggal kawan seiring.” Padahal, kader-kader PG ini telah melakukan pelbagai preparasi mempersiapkan diri: mulai dari pemajangan sejumlah APK, konsolidasi dengan ormas dan tokoh-tokoh masyarakat dan ormas, termasuk pendekatan kepada petinggi PG di pusat. Tidak sedikit juga anggaran yang sudah dialokasikan oleh kader-kader ini dalam preparasi awal pencalonannya ini. Namun, apa dikata, entah karena kekuatan logistik, jaringan yang telah terbina sejak lama, atau kedekatan dengan elit PG di pusat, kader-kader PG ini akhirnya tereleminasi. Nama Nia menjadi satu-satunya nama bacalon kepala daerah yang direkomendasikan DPP PG. Pada titik ini, desentralisasi parpol telah memangkas aspirasi yang berkembang perihal calon yang memiliki elektabilitas dan populeritas yang tinggi.
Pelbagai opini pun merebak. Sejumlah kalangan masyarakat atau di internal PG sekali pun menyayangkan bahkan mempertanyakan rekomendasi DPP yang diberikan ke Nia. Ada pandangan mengemuka yang mengatakan, terlalu dini untuk mengorbitkan Nia sebagai Dayeuh Bandung Satu. Selayaknya Nia disiapkan terlebih dahulu “magang” perpolitikan di PG. Lantas, apakah posisinya sebagai ibu Darma Wanita atau Ketua Tim penggerak PKK dan Posyandu selama mendampingi suami sebagai bupati sudah boleh dikatakan cukup bagi pemahaman politik praktis atau hal-ihwal tata kelola pemerintahan daerah? Jawabannya, mayoritas wargi Dayeuh Bandung sudah mahfum. Siapa sebenarnya nanti yang akan menjadi konduktor tata kelola pemda sebenarnya seandainya Nia terpilih?
Faktor Usman Yogi
Nama Usman Yogi –-selanjutnya dipanggil Yogi, yang dipasangkan dan direkomendasikan dengan Nia sebagai bacalon wakil bupati, cukup membuat publik Dayeuh Bandung kaget. Persoalannya, Yogi adalah birokrat aktif dan moncer dengan jenjang karier yang masih panjang dan terbuka. Dengan mencalonkan diri sebagai wakil bupati, Yogi tidak hanya mengorbankan karier birokratnya, melainkan juga telah memproklamirkan dirinya menjadi profesional politik : Dari profesional Birokrat menuju profesional politik. Jabatan wakil bupati adalah jabatan politik. Dan, nampaknya pertimbangan Yogi melepas atribut Aparatur Sipil Negara-nya (ASN) telah melalui kalkulasi seksama, panjang dan penuh pertimbangan. Inilah adalah keputusan strategis. Keputusan yang berdaya jangkau ke depan. Taruhannya berat. Orang politik ketika berhasil disanjung, tatkala salah dihujat. Sebuah konsekuensi logis.
Atas pengalaman birokrat dan networknya dengan pelbagai jaringan bisnis dan politik, termasuk dengan sejumlah pentolan dari petinggi parpol, ini pula mungkin nampaknya yang menjadikan Dadang Naser terpikat menyandingkan Nia dengan Yogi. Pasangan Nia-Yogi dianggap mumpuni. Dengan kapasitas, kapabilitas dan pengalaman dalam tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good govenrnace) yang dimiliki, Yogi diharapkan mampu menutup keterbatasan pengalaman Nia dalam hal pengelolaan pemerintahan daerah.
Kendati demikian, Yogi betul-betul mesti memosisikan dirinya dengan jelas. Sebagai wakil bupati, Yogi sebaiknya sedari awal membangun komitmen yang ketat dengan Nia sebagai bupati. Kejelasan ini dituangkan dalam pakta integritas yang mengikat peran-peran bupati dan wakilnya, sehingga fungsi wakil bupati tidak hanya sekedar “ban serep” atau sekedar pemeran pengganti dalam kegiatan-kegiatan seremonial. Fungsi dan peran wakil bupati mesti dirumuskan secara tegas, jelas dan terukur. Jika ini yang terjadi, pengorbanan Yogi memangkas karier birokrasi terjawab sudah.
Kendati sempat tersandung persoalan kartu keanggotaan parpol tatkala posisinya masih menjabat birokrat, sepertinya Yogi mempunyai alasan reasonable untuk menjawabnya. Namun, keberadaannya di DPP PG pada saat penetapan rekomendasi bagi pasangan Nia-Yogi, dinilai tidak etis kendati dilakukan tanpa fasilitas negara dan di luar hari/jam kerja. Biar bagaimana pun Yogi masih berstatus ASN, dan sangat tidak layak hadir di kegiatan politik partai, kendati ini merupakan perintah atau intruksi dari pimpinannya, dalam hal ini bupati. Yogi sebaiknya mampu menolak perintah ini. Persoalan ini tidak hanya menjadi pelajaran tersendiri bagi Yogi. Persoalan etika ASN ini relatif dapat mempengaruhi kecendrungan pemilih di pilkada. Sekecil apapun itu.
Sekedar Membuat Peta
Mesin partai politik dalam bursa pilkada terasa semakin memanas. Konfigurasi-konfigurasi baru, kendati masih merupakan fenomena sesaat namun telah memberikan isyarat terhadap munculnya pasangan bacalon yang akan menjadi pesaing Nia-Yogi. Selain aktor-aktor lama dan sudah cukup dikenal, kontestasi kali ini nampaknya akan menghadirkan dua calon wanita, Nia dan Yena. Sejarah akan mencatat jika terjadi, mungkin baru kali ini perempuan menjadi bupati setelah 397 umur Dayeuh Bandung ini. Monumental.
Sebagaimana banyak prediksi politik, munculnya tiga atau empat pasangan dalam pilkada Dayeuh Bandung 2020 ini, akan memuluskan jalan Nia-Yogi menggapai Rumdin Soreang. Suara terpecah memperkuat basis-basis kantong-kantong suara di wilayah tradisional dan militan. Pemilih ini menentukan pilihannya tidak semata melihat faktor pasangan calon, melainkan keterikatan emosional dengan PG. Analisis trend dari perolehan pilkada dan pileg terdahulu, PG memiliki basis-basis konstituen di dapil-dapil tertentu yang fanatik. Kendati demikian, modal suara di dapil-dapil ini belumlah mencukupi untuk menggenapkan suara mencapai kemenangan. Selain diperlukan usaha keras dan gigih memoles dan meng up-grade dalam menjajakan Nia-Yogi, juga diperlukan perjuangan gigih melawan serangan kampanye pasangan lain. Persoalan logistik bukanlah segalanya. Beberapa konstituen malah menjadikan ini sebagai titik krusial mendiskriditkan bacalon. Derasnya sentimen arus perubahan dan perlawanan terhadap dinasti, juga menjadikan kalkulasi pasangan Nia-Yogi untuk menjawabnya secara elegan. Katakanlah: Kami juga bagian dari perubahan tersebut!
Pasangan lawan yang dihadapi Nia-Yogi, terutama pasangan yang diusung PKS dan PDI P juga memiliki basis-basis konstituen fanatik yang berorientasi partai. Artinya, siapa pun calonnya jika dia dari PKS atau PDI P, kami akan memilihnya. Faktor lainnya adalah keberadaan pasangan calon yang populer dan memiliki tingkat elektoral di atas Nia Yogi. Akhirnya, tiga atau pasangan tidak berarti menguatkan posisi Nia-Yogi. Namun, jika terjadi hanya head to head pasangan, ini ancaman berat bagi kemenangan Nia-Yogi. Faktor kisruh internal di PG dengan merapatnya beberapa kader PG ke pasangan lawan juga akan sangat membuat gerakan “menjual” Nia-Yogi menjadi terhambat. Karena itu, presisi pemetaan dan metode menangkap suara pemilih masing-masing akan sangat berpengaruh terhadap perolehan suara. Keberadaan pemilih pemula dan milineal menjadi pertimbangan khusus. Karakter dan tipikal pemilih seperti ini lebih smart dan reasonable. Mungkin sebagian mereka adalah generasi medsos. Di tengah masih kondisi Covid-19, kanal medsos adalah ujung tombak kampanye dalam menangkap suara pemilih.
Tapi, biar bagaimana pun politik itu cair secair-cairnya. Komitmen dan kesepakatan itu cenderung hanya dipermukaan. Menjadikannya sebagai basis fakta politik akan sangat gegabah. Karena itu, bersiaplah dengan kekalahan namun tetap terhormat.*
Dalam hening, dan hening itu adalah mendengarkan lagu Halo-Halo Bandung.
Discussion about this post