EMOSI publik Dayeuh Bandung kembali dibuat bergolak. Penyulutnya, soal bagi-bagi ampouw Tunjangan Hari Raya (THR) dari Eksekutif ke unsur pimpinan dan anggota DPRD Kabupaten Bandung. Seketika, soal ini pun menyebar, menjadi buah bibir dalam hindangan renyah di tengah “perbincangan hangat” di warung-warung kopi, cafe-cafe kekinian hingga ke ruang-ruang birokrasi dan sekat-sekat pembatas diantara ruang-ruang para legislator sendiri.
Para aktivis progresif dan kaum oposan jeli dan kritis meresponnya. Ada yang mengurut dada, sedikit jengkel, namun geram. Marah. Tak sedikit dari mereka yang langsung teriak-teriak dengan umpatan bahasa-bahasa “kebun binatang.” Semacam cetusan emosional yang terjalin dalan kekesalan menghadapi perilaku elit birokrasi. Pelbagai komentar bernada miring pun bermunculan. Sebagian kalangan yang paham menilainya, ini sudah sangat keterlakuan, menyalahi ketentuan.

Bukankah ketentuan “Pengelolaan Hak Keuangan dan Administrasi Pimpinan dan Anggota DPRD” telah di atur di PP. No. 18 Tahun 2017? Karena itu sebagian besar mereka menyuarakan, pembagian THR ini jelas-jelas bagian dari “Gratifikasi.” Sesuatu yang memenuhi unsur pidana.
Kendati demikian, baik Eksekutif pihak pemberi maupun Legislatif sebagai pihak penerima ampouw THR, awalnya berdalih bahwa ini sudah menjadi semacam “tradisi tahunan” yang sudah berlangsung lama. Mungkin semacam kultus ikatan kekerabatan atau ungkapan “kadeudeuh.”
Namun, dalam suasana sensitivitas yang disulut dinamika politik lokal saat ini, khususnya terkait menghadapi Pilkada 2020, praktek-praktek ini ibarat “menyiram api dengan bensin.” Eksekutif dianggap kurang peka dalam membaca kondisi emosional publik yang berlangsung saat ini.
THR Gate menjadi gorengan publik. Celakanya, tampilan ampouw THR-nya, menunjukkan foto sang bupati Dadang Naser berdampingan dengan istri, Nia Kurnia Agustina Naser. Lantas, ke arah mana makna dan tujuan tampilan luar ampouw ini, masyarakat paling awam sekalipun dengan mudah mampu menilainya. Tak heran, menggelindinglah THR Gate ini menjadi perbincangan publik ibarat bola panas yang menggelinding kemana-mana.
Apakah efek dari THR Gate ini diluar prediksi rezim penyelenggara pemerintahan? Perlu diingat, bahwa warna-warni Legislatif kali ini, tidak bisa sepenuhnya dikontrol dengan kesepakatan atau tekanan dominasi mayoritas suara fraksi atau partai. Menjelang pilkada, rezim tidak bisa sepenuhnya memaksakan dan mendorong kehendak politiknya.
Ditambah lagi “mata” jaringan pemilih yang terbangun sudah demikian meluas dan terlembagakan dalam pelbagai pilihan warna. Kesepakatan-kesepakatan formal pelbagai ormas atau lembaga in-formal, tidak bisa sepenuhnya dijadikan ukuran kesolidan suara.
Masih terkesan longgar dan pragmatis. Tidak bisa dijadikan alat ukur formal sebagai dukungan terhadap pasangan bacalon yang diusung partai tertentu. Ditambah lagi, masing-masing bacalon pun belum memiliki tiket resmi pencalonan yang mengikat. Karena mengingat itu, praktek “tradisi feodal” pembagian ampouw THR ini, yang terkesan samar sebagai upaya penggiringan dukungan, selayaknya sudah harus ditiadakan.
Apalagi praktek THR Gate ini “sangat jelas” bertentangan langsung dengan UU KPK No. 19 Tahun 2019 serta pelbagai aturan normatif turunannya. Rasanya untuk hal ini rezim sudah paham dan mengerti. Lantas, apakah ini sekedar coba-coba?
Sedikitnya ada tiga (3) dampak politis dari THR Gate terhadap performa rezim ini. Pertama, ditengah arus besar penolakan rezim dinasti, THR Gate seakan memberi stimulus baru bagi kaum oposan di lingkup legislatif dan kaum pergerakan progresif untuk mengedepankan dalih yang menyudutkan –sekedar untuk tidak menyebutnya dengan kata “menyerang” terhadap rezim.
Kedua, THR Gate dapat menurunkan militansi kaum pemilih fanatik terhadap calon ditawarkan rezim; ditengah usaha memelihara dan meyakinkannya, sekaligus di tengah melemahnya tingkat kepercayaan terhadap rezim. Ketiga, THR Gate akan menjadi “dosa politik” dan menambah beban logistik politik rezim, karena jika THR Gate ini terus digulirkan dan berlanjut dalam ranah pidana, diprediksi akan membawa masalah baru berkepanjangan bagi rezim.
Di tengah kegundahan dan upaya masif mencoba menyodorkan bacalon bupati dalam pilkada nanti, persoalan THR gate ini dapat menjadi preseden buruk bagi langkah-langkah “menjual” bacalon yang ditawarkan. Selain memerlukan langkah-langkah populis dan emansipatoris kembali, rezim atau partai Golkar dituntut cermat dan teliti dalam mengedepankan langkah-langkah politik serta kebijakannya kembali, baik yang bersentuhan secara emosional dengan organ-organ di legislatif atau kebijakan yang berdampak langsung ke masyarakat. Hindari keputusan yang ditetapkan “hanya” dengan unsur-unsur pimpinan legislatif semata. Apalagi itu menyangkut keputusan strategis.
Nampaknya, rezim mesti me-reviu kembali pola hubungannya dengan legislatif, karena hakekat legislatif adalah lembaga kolektif kolegial. Setiap bagian dari alat kelengkapannya, mesti diperhatikan. Disamping, pahami juga suasana atmosfir politik yang tengah berkecamuk di internal birokrasi dan masyarakat.
Lantas, berkembanglah fenomena politik yang semakin panas, di tengah tensi gejolak emosi massa yang tinggi, kehebohan lain tampil dan mengejutkan. Sore, 2 Juni 2020, TV One dalam runing text beritanya menampilkan tajuk bertuliskan “KPK terima 58 Laporan gratifikasi soal Idul Fitri senilai 62,8 Juta.” Mengacu kepada running text tersebut, dan berdasarkan klarifikasi kepada beberapa anggota DPRD di Kabupaten Bandung, mereka mengakui telah menerima THR. Beberapa orang anggota DPRD telah mengembalikanya. Sinyalamen lain, mengatakan tidak sedikit juga mereka yang telah melaporkannya ke KPK melalui web resmi KPK.
Nampaknya, rezim perlu mengedepankan cara-cara dan pola cerdas yang terukur menghadapi problema ini. Menjadi perhatian, sebagaimana sudah diketahui umum, bahwa Nia Kurnia Agustina Naser tengah berusaha mendapatkan rekomendasi dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar bagi pencalonan bupati Bandung 2020-2022. Ini bagian dari siklus meneguhkan rezim dinasti.
Bupati sendiri saat ini menjabat pimpinan daerah Partai Golkar Kabupaten Bandung. Secara agregat, Nia Kurnia Agustina Naser akan bersaing memperoleh karcis resmi pencalonan 7bupati, dengan sesama calon lain yang sejawat di partai Golkar, seperti Dadang Supriatna, Deding Ishak, Anang. S, dan bacalon lainnya. Masing-masing mereka berusaha melakukan manuver dan bargaining position di tingkat Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar.
Namun, semaraknya baliho dan spanduk yang menampilkan wajah Nia Naser telah banyak mengisi ruas-ruas jalan-jalan strategis di Kabupaten Bandung, mengalahkan tampilan bacalon lain dari Partai Golkar atau partai-partai lainnya.
Sebagian kalangan menilai, Nia diutungkan dengan posisi suami sebagai bupati, sehingga mampu mengatrol anggaran pilkada melalui APBD. Dengan demikian, aroma “permintaan” dukungan terhadap Nia Kurnia Agustina Naser, terkait pencalonannya sebagai bupati Bandung, sangat jelas bila dikaitkan dengan pembagian THR ini.
Rezim dan Partai Golkar, mesti segera mengedepankan persoalan THR Gate dalam prioritas penyelesaiaan masalah. Solusi terbaik adalah mengadakan kembali “komunikasi intens” dengan fraksi-fraksi di legislatif. Dan, untuk ini inisiatif harus turun langsung dari Partai Golkar. Basa-basi politik sebaiknya dikesampingkan. THR Gate akan sangat memengaruhi tingkat elektabilitas calon yang diusung Partai Golkar, sangat mungkin terjadi. Dan, yang pasti, THR Gate ini akan berkonsekuensi menguras ongkos politik yang tidak kecil.
Jika ditilik ketatnya persaingan mendapatkan tiket resmi pilkada di internal Partai Golkar, tidak tertutup kemungkinan Nia Kurnia Agustina Naser terlempar dari pentas persaingan. Kondisi ini dapat mendorong pilihan lain bagi Nia mencari “cantolan” di luar Partai Golkar. Suara Gerindra, PKB, PAN nampaknya cukup untuk mengusung Nia…? Kita tahu, baik Gerindra, PAN, Partai Demokrat dan PKB di Kabupaten Bandung saat ini adalah “sohib seiring” Partai Golkar di Dayeuh Bandung. Tidak ada yang tidak mungkin. Politik memang cair dan banyak menampilkan hal tak terduga. Wallahualam.***
Dalam keheningan Pasir Manggu, Ciwidey. Tavinur S. Ramadhani
Discussion about this post