Di tengah proyeksi rendahnya minat pemilih datang ke TPS akibat covid-19, lanskap politik dayeuh bandung mengalami pergeseran-pergeseran fundamental. Parpol-parpol pendukung petahana di parlemen (DPRD), tidak selalu harus sepakat lagi terkait dukungan. Inkonsistensi loncat dukungan calon, bagian dari bargaining membangun koalisi, sudah jadi hal yang lazim.
Parpol hari ini umumkan dukung calon A, besoknya calon B. nyata, begitu mudah kesepakatan dilanggar. Pemahaman mengenai lanskap politik Dayeuh Bandung terkini, menjadi dasar bagi setiap parpol memilih jalan yang ditempuh untuk berkoalisi, sekaligus merebut kepercayaan masyarakat. Begitu idealnya. Repositioning partai membangun koalisi menjadi taruhan, akan bagaimana postur partai ke depan?
Koalisi dukungan adalah dagangan parpol. Bernilai nominal dan sarat tawar menawar. Sewa perahu memang tidak murah. Tidak di level daerah, pun hingga pusat. Apa mau dikata, begitu wajah rezim parpol kita. Wilayah parpol adalah eksklusif. Tak bisa diintervensi oleh partisipasi publik. Pengambilan keputusan berada di wilayah elit. Keputusan lebih mengedepankan kepentingan partai dan elit, bukan aspirasi publik. Karena itu, jangan berharap banyak terhadap partai, kendati demikian kita juga tidak harus selalu diam. Terus mengkritisinya, kendati dibilang nyinyir. Pembelajaran politik memang kerap disalah artikan.
Publik kebanyakan dibuat geram. Sampai kapan parpol kita akan dewasa dan sehat. Menjelang pilkada, kondisinya semakin keruh. Manuver pelaku-pelaku politik begitu menyebalkan. Mereka ibarat petualang yang tak pernah puas. Tak ada bahasa komsumsi mereka selain kata-kata “berapa” dan “kekuasaan”. Jualan mereka adalah argumen sesaat dan lobi-lobi dukungan. Terkadang, gerakan parpol ini menutup ruang untuk berbeda pendapat.
Akibatnya, peran masyarakat sipil (civil society) melemah. Apresiasi terhadap hak –hak politik dan kebebasan sipil semakin menurun. Buktinya, selama dua kali pilkada, apresiasi partisipasi publik dalam pilkada tak pernah menyentuh angka 75 %. Namun kali ini, KPU tetap berharap pemilih pilkada kali ini lebih tinggi, kendati Kemendagri hanya menargetkan angka partisipasi pemilih sebesar 50%. Padahal, ukuran keberhasilan demokrasi, salah satunya adalah partisipasi politik publik. Tak heran, jika banyak kepala daerah terpilih miskin legitimasi. Kita berharap itu tak terjadi di Dayeuh Bandung.
Apalagi menjelang pilkada sekarang, ketertarikan pemilih terhadap kandidat terbatasi oleh kebijakan covid-19. Biasanya sosialisasi atau kampanye langsung menjadi ajang jual diri calon. Kali ini tak bisa dilakukan secara maksimal. Di tengah pandemi, kampanye secara daring pun tak bisa menggantikan euphoria kampanye langsung atau tatap muka. Pada tahap ini, urgensi parpol sebagai motor agregasi kepentingan semakin dirasakan. Minimal mereka dapat mengaktifkan kader-kadernya untuk mempromosikan calon mereka melalui door to door. Inilah yang kadang terabaikan oleh partai. Uangnya diambil dari calon, namun tidak mampu menggerakkan mesin partainya.
Sketsa di Dayeuh Bandung
Nyaris semua kalangan paham. Panasnya mesin partai sangat dirasakan saat pilkada, pileg atau pilpres. Tapi dalam pilkada, boleh dikatakan inilah “musim panen” parpol. Selain menjajakan parpol untuk dukungan pencalonan kepala daerah (KDH), syarat UU pun mengharuskannya demikian, disamping penggunaan jalur independen.
Untuk sebuah rekomendasi pencalonan, memang tidak ada standar resmi tentang berapa besaran kontribusi sewa perahu. Namun rahasia umum mahfum itu bisa mencapai nilai M-M-an. Nilai penawaran akan lebih tinggi jika tiket rekomendasi itu diperebutkan oleh beberapa calon. Bisa anda bayangkan betapa sengitnya perjuangan mendapat tiket rekomendasi yang terjadi di Partai Golkar. Seberapa besar logistik yang harus disiapkan pasangan Nia-Yogi untuk mendepak pesaingnya: Dadang Supriatna, Deding Ishak, Yoga Santosa atau Anang Susanto? Kendati setoran sewa perahu ini bukan faktor tunggal, namun semua kalangan paham, ihwal setoran sewa perahu ini tetap menjadi faktor penentu. Tentu saja “kedekatan dan keeratan” dengan elit parpol di pusat juga menjadi pengaruh besar didapatkan tidaknya tiket rekomendasi.
Apa yang terjadi, jika ternyata parpol pemberi tiket tidak memenuhi kuota kursi bagi syarat pencalonan? Tentunya, mesti berkoalisi dengan parpol lain. Bisa satu atau dua parpol. UU mensyaratkan 11 kursi di parlemen daerah untuk dapat mengusung pasangan calon. Di Dayeuh Bandung, hanya Partai Golkar yang memenuhi syarat ini dan dapat mengusung calon pasangannya dengan partai tunggal. Tak heran jika Golkar merasa jumawa di pilkada kali ini.
Jika terjadi koalisi, lantas bagaimana pola atau mekanisme sewa perahunya? Pertama, tentu saja ditetapkan terlebih dahulu partai pengusung utama, setelah itu mengikat satu atau dua partai lainnya untuk mencapai 11 kursi. Kedua, sketsa saya melukiskan sekedarnya, misalnya besaran kontribusi dilihat jumlah kursi. Katakanlah, untuk sebuah kursi nilainya mencapai 100 juta, maka harga yang harus disiapkan pasangan calon ini sebesar 1,1 milyar. Tetapi, jangan salah, ini baru nilai sewa kursi, belum termasuk kontribusi untuk sewa perahu itu sendiri. Mungkin, nilai 1,1 ini didistribusikan kepada setiap anggota di parlemen (DPRD) sebagai bonus tambahan.
Ketiga, untuk sewa perahu itu di luar sewa kursi, dan biasanya ini berlangsung antar elit puncak. Sifatnya sangat tertutup. Termasuk berapa nilai kontribusi yang harus disetorkan pasangan calon. Ini bisa bernilai jumbo. Jelas M-M-an juga. Jika sketsa ini dikiaskan sebagai realita, bisa dibayangkan berapa besaran logistik yang harus disiapkan pasangan calon. Jangan salah juga, anggaran itu semua belum termasuk biaya survey, honor para saksi, penyiapan APK, atau biaya operasional kampanye, termasuk saweran kepada pemilih.
Sedemikian sarat modal dan ribednya pesta demokrasi kita ini. Kalaupun diantara mereka terpilih, bisa dibayangkan dari mana mereka mengembalikan modal pencalonannya? Jawaban kita, mungkin sama. Sudah menjadi rahasia publik. Bukan lagi tebak-tebakan. Namun, pertanyaan mendasarnya adalah sampai berapa lama kondisi seperti ini terus berlangsung? Mesti dari mana kita mengawali perubahan bagi terbangunnya sebuah iklim demokrasi yang sehat dan berkualitas?
Sampai hari ini, gejala munculnya tiga pasangan dalam pilkada Dayeuh Bandung masih mengemuka. Nia-Yogi diusung Partai Golkar, mungkin Partai Gerindra akan merapat ke pasangan ini. Pasangan Dadang Supriatna-Syahrul diusung PKB, Partai Nasdem dan Partai Demokrat. Yena Mas’oem-Atep yang diusung PDIP dan PAN. PKS nampaknya kalah cepat menangkap peluang sehingga tersandera dengan kesendiriannya. Namun, “janur kuning” belum tertancap sempurna. Jalan menuju pintu pendaftaran masih cukup tersedia.
Mampukah PKS melakukan manuver atau akrobat politik sehingga mampu memecah koalisi partai yang telah terbangun? Atau, dengan mengesampinkan segala faktor ideologis dan orientasi partai, lalu melakukan pragmatisme politik merapat ke salah satu pasangan tanpa menempatkan kadernya. Jika pun PKS mampu membangun konfigurasi pasangan keempat, peta politik di rezim pilkada kali ini akan sangat dinamis. Biasanya di waktu-waktu injury time banyak terjadi kejutan-kejutan tak terduga. Karena politik itu adalah sesuatu yang tak terduga dan sulit diduga ( red**)
Discussion about this post