Soreang (BR).- Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus yang selanjutnya disingkat KHDTK, area kawasan hutan yang secara khusus diperuntukkan untuk kepentingan penelitian dan pengembangan kehutanan, pendidikan dan pelatihan kehutanan serta religi dan budaya.
Menyoroti hal tersebut Penggiat Lingkungkungan Eyang Memet berpendapat bahwa Di Tatar Sunda, fungsi, peran atau pandangan tentang hutan demikian sakral dan sangat dihormati, Ujarnya Minggu 30 Januari 2022.
” Hutan telah menjadi bagian inheren atau bagian tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Hutan atau leuweung merupakan “leuweung tutupan” (hutan lindung) atau leuweung baladahan (hutan bukaan)'” Paparnya.
Menurutnya Pula, Secara budaya dan relegius, Hutan merupakan titipan atau amanah dari Sang Pencipta.Penyadaran hutan sebagai kawasan suci dan sakral atau abadi sehingga kerap disebut sebagai “leuweung larangan”. Konteks larangan ini bisa diartikan sebagai konservasi, Ucap Penggiat Lingkungan.
Dikatakan Eyang, bahwa Kawasan hutan harus dijaga keasliannya dan dilarang mengganggu, merubah atau
merusak apa pun di dalamnya.
Kata “penyandaran”, berarti perantara atau objek bukan subjek, artinya sebagai media atau wadah dalam pencapaian kepada subjek yang sesungguhnya, yaitu Tuhan.
” Tuhan sendiri tidak dapat dijelaskan bentuk materinya, karena dengan sendirinya jika termaterikan, maka eksistensinya diragukan”. Orang Sunda pantang mematerikan Tuhan dalam bentuk apa pun sebagai mana petuah leluhur Sunda, “ulama pada”, yang artinya tidak boleh menyerupakan Tuhan, Ungkapnya.
Lebih Jauh Eyang Memet, menuturkan Hutan dengan tujuan sebagai Kawasan Khusus sebagaimana merujuk PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.15/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2018 TENTANG KAWASAN HUTAN DENGAN TUJUAN KHUSUS, di kawasan Jawa Barat Umumnya dan kawasan Bandung khususnya, regulasi ini sebenarnya telah berjalan secara sosiologis, kata Dia.
Menurut Penggiat Lingkungan Ini, Ada sistem dan pola kearifan lokal yang menegaskan bahwa hutan adalah titipan yang harus dijaga secara amanah. Ki Sunda terjemahan dari masyarakat Sunda sudah dibekali atau diimbangi (diselaraskan) dengan sumber-sumber materi (lahiriyah), baik dalam skala luas (hutan bukaan/produksi) maupun terbatas (tutupan/hutan lindung), Terang Dia.
” Jika manusia mengganggu, merubah atau merusak kawasan “titipan” ini -karena keserakahan, tidak merasa cukup dengan apa yang sudah diberikan- maka
terganggu, berubah atau rusak pulalah nilai-nilai ketuhanannya “.
Ditegaskan Eyang Memet Jika, nilai ini rusak, maka nilai kemanusiaannya pun diragukan dan dipertanyakan Salah satu kepedulian (concern) mengembalikan fungsi hutan menjadi hutan lindung di Kabupaten Bandung, diantaranya melalui pemanfaatan dan pengelolaan Kawasan Hutan Tanjak Nangsi Injeuman (KAHATNI) yang berada di Desa Cibodas Kecamatan Pasir Jambu, Ciwidey, Kabupaten Bandung, Ucap Eyang.
Berjarak kurang lebih 46 km dari Kota Bandung ke arah Selatan-Tenggara, dan berada di ketinggian 1.150 dpl di antara
rangkaian perbukitan Bandung Selatan dengan luas kawasan sekitar 6
(enam) hektar.
Status kawasan adalah tanah carik/girik atau garapan desa yang dipercayakan kepada Yayasan WALATRA untuk diolah dan dimafaatkan bagi kepentingan kelestarian lingkungan hutan, dan bagian
dari Program Perhutanan Sosial (social forestry), Tutup Penggiat Lingkungan Eyang Memet. (BR.01)
Discussion about this post