Bandungraya.web – Soreang | Secara sederhana istilah toponimi merupakan cerminan realitas inside manusia dalam pemberian nama tempat atau wilayah. Toponimi menunjukkan pengetahuan dan pengalaman budaya pendukungnya dalam memberi nama bagian permukaan bumi sebagai tempat “place” tidak sekedar ruang fisik “area” hal itu diutarakan Jamu Ketabudi saat dihubungi bandungraya.web Sabtu 15 Mei 2021.
Menurut Kang Jamu, sapaan akrab Jamu Kertabudi Berdasarkan ketentuan peraturan yang berlaku bahwa pemberian nama jalan ini merupakan wewenang Kepala Daerah, ulasnya.
” Sehingga cukup dituangkan dalam bentuk SK Kepala Daerah, Namun demikian, apabila dalam rangka ketertiban & keserasian penamaan jalan disesuaikan dengan faktor sejarah, potensi alam, dan pengabadian nama tokoh yang berjasa bagi Negara dan atau Daerah, maka hal ini diperlukan Peraturan Daerah yang mengatur dan menjadi pedoman bagi Kepala Daerah dalam menentukan nama jalan,” imbuhnya.
Seperti contoh halnya di kota Bandung, wilayah bagian Utara nama jalan mengambil nama tokoh sejarah, diwilayah tengah penamaan jalan dilihat dari faktor alam seperti nama sungai, serta di wilayah bagian tengah selatan.nama jalan diambil dari nama Gunung, beber Jamu.
Diutarakan Kang Jamu, Berkaitan dengan hal ini, diwilayah Kab. Bandung khususnya di Soreang sebagai ibukota tampak belum ada regulasi tentang penamaan jalan tersebut, kata Dia.
” Sehingga pemberian nama jalan diwilayah Kab. Bandung dilihat dari aspek legalitas perlu penelurusan lebih lanjut, ada kejadian menarik pada tahun tujuhpuluhan di discussion board rapat dinas saat itu, Wedana Banjaran R. Iing Kartawigoena mengusulkan kepada Bupati Bandung R.H.Lily Sumantri perubahan nama sebuah kampung dari nama “Cimodol” menjadi nama “Cimedal”, saat itu Bupati merestuinya, paparnya.
‘Dengan demikian sebagai bahan masukan dalam rangka penertiban dan keserasian nama jalan, kiranya perlu memperhatikan aspek Toponimi dan regulasi sebagaimana mestinya, ujar Jamu Kertabudi. (BR. 01)
Discussion about this post