KAB. BANDUNG ( BR. NET) Pimpinan Cabang Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (PC IPNU IPPNU) Kabupaten Bandung melaksanakan latihan kepemimpinan muda (Lakmud) di Pondok Pesantren Attawakkal Mekarsari Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung, Senin (23/12/2024).
Kegiatan Lakmud itu dalam upaya membentuk kader muda yang peka terhadap sosial budaya dan politik. Selain itu mencetak kader muda yang berdaya.
Anggota DPRD Kabupaten Bandung dari Fraksi PKB H. Tarya Witarsa hadir di tengah-tengah pelajar tersebut. Ketua Komisi C DPRD Kabupaten Bandung ini menjadi pemateri dalam kegiatan Lakmud tersebut. Tarya pun menyampaikan materi tentang ke-Indonesia-an.
“Lakmud merupakan latihan kader tingkat pertama, yang ditekankan pada pembentukan watak, dorongan untuk mengembangkan diri dan meningkatkan rasa memiliki organisasi,” kata Tarya di hadapan para peserta Lakmud.
Pada kesempatan itu, Tarya yang juga Sekretaris DPC PKB Kabupaten Bandung ini menyampaikan materi ke-Indonesia-an. Ini paparan yang diungkapkan di hadapan para peserta Lakmud: sudah 63 tahun berlalu, sejak Soekarno-Hatta dan para founding fathers memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, pada 17 Agustus 1945.
Sekian lama sesudahnya, terutama saat di bawah pemerintahan Orde Baru, apa yang kita anggap sebagai identitas “Indonesia” seolah-olah sudah final.
Sesuatu yang sudah selesai. Namun, berbagai perkembangan terakhir, terutama yang muncul sejak jatuhnya rezim Orde Baru di bawah Soeharto, seolah-olah menyentakkan kita kembali ke realitas. Yaitu, bahwa apa yang kita sebut sebagai identitas “Indonesia” dan keindonesiaan ternyata adalah sesuatu yang masih harus terus kita perjuangkan.
Ia adalah sesuatu yang selalu dalam
pembentukan, selalu dalam proses menjadi (becoming). Konflik berdarah
bernuansa agama di Ambon dan Maluku; pembantaian etnis di Kalimantan yang melibatkan suku Dayak dan Madura;
gerakan separatis bersenjata di Papua dan Aceh; kerusuhan Mei 1998 di Jakarta; dan banyak lagi yang tak bisa disebut satu-persatu, telah memberi aksentuasi lebih kuat tentang “kerapuhan” atau perlunya dirumuskan kembali identitas keindonesiaan tersebut.
Terakhir, adalah munculnya tantangan globalisasi, yang terwujud pada semakin tipisnya batasbatas teritorial antarnegara, serta semakin mudahnya perpindahan uang, manusia, barang, jasa, ide, dan informasi, melintasi batas-batas
negara.
Fenomena kontemporer ini terasa semakin intensif menghadapkan
“kekitaan” dan keindonesiaan, dengan sesuatu yang kita pandang sebagai pihak luar atau “kelianan” (others).
Maksud dan tujuan teks dalam bahasan di sini dimaknai dalam arti luas, bukan semata-mata
kumpulan kata-kata lisan atau tertulis.Teks adalah bahasa dalam penggunaan (language in use), dan bahasa itu sendiri adalah salah satu unsur kebudayaan manusia.
Teks berkaitan dengan konteks atau situasi tertentu, baik saat teks itu
diproduksi, maupun saat teks tersebut ditafsirkan.
Dengan membaca dan menganalisis teks, kita dapat melihat bagaimana
suatu realitas dikonstruksi secara sosial. Realitas sosial, dalam hal ini
kebangsaan dan nasionalisme Indonesia, bukanlah sesuatu yang ada begitu saja.
Ia diciptakan, dibentuk atau dikonstruksi dalam ruang dan waktu tertentu, melalui suatu proses historis tertentu yang tidak linier, dan dengan demikian juga bisa mengalami masa pasang dan masa surut.
Bangsa, kebangsaan, dan nasionalisme. Mendiang Presiden Soekarno sering bicara dengan lantang tentang penjajahan Belanda selama 350 tahun terhadap “Indonesia.”
Meski ada suara-suara kritis, sampai saat ini, dalam materi pelajaran sejarah nasional yang
diajarkan di sekolah-sekolah, kepada para siswa juga masih diajarkan tentang mitos penjajahan Belanda selama 350 tahun itu.
Padahal pada waktu VOC
Belanda bercokol di wilayah yang sekarang bernama Indonesia ini, saat itu identitas “Indonesia” belum dikenal.Yang ada hanyalah sejumlah kerajaan di berbagai kepulauan. Seperti dikatakan Anderson, “Indonesia” adalah hasil ciptaan abad ke-20.Sedangkan, sebagian besar wilayah yang sekarang diakui sebagai wilayah Indonesia sebenarnya baru dikuasai Belanda antara tahun 1850-1910.
Jika konsep Indonesia saja baru “diciptakan” pada abad ke-20, jadi
siapakah yang dapat disebut bangsa Indonesia tersebut? Istilah bangsa (nation), kebangsaan (nationality), dan nasionalisme (nationalism) bukanlah sesuatu yang mudah dirumuskan.
Fenomena bangsa dan nasionalisme ini nyata pengaruhnya dalam sejarah dunia, namun teori-teori tentangnya justru tidak banyak. Tidak seperti isme-isme lain, nasionalisme tidak
pernah menghasilkan pemikir-pemikir besarnya sendiri.
Anderson, dalam semangat antropologis, mengusulkan definisi bangsa sebagai komunitas politik terbayangkan (imagined political community).
Komunitas ini dibayangkan secara inheren bersifat terbatas (limited) dan
berdaulat (sovereign). Komunitas ini disebut terbayangkan, karena bahkan
anggota bangsa yang terkecil sekalipun tak akan pernah tahu, bertemu, ataupun mendengar tentang sebagian besar dari para anggota bangsanya.
Meski begitu, dalam pikiran mereka, hidup suatu gambaran atau citra tentang kesatuan (communion) mereka. Ernest Gellner mengatakan, “Nasionalisme bukanlah
kebangkitan bangsa-bangsa ke arah kesadaran diri (self-consciousness): ia menciptakan bangsa-bangsa di mana mereka (awalnya) tidak ada.”
Suatu bangsa dibayangkan bersifat terbatas karena bahkan bangsa yang
terbesar, yang jumlah anggotanya katakanlah melebihi satu milyar orang,
memiliki batas-batas yang tertentu, walaupun batas itu bersifat elastis. Di luar batas itu, terdapat bangsa-bangsa lain.
Suatu bangsa dibayangkan berdaulat karena konsep bangsa ini lahir pada
zaman di mana Pencerahan (Enlightenment) dan Revolusi menghancurkan legitimasi kekuasaan, yang bersandarkan pada dinasti hirarkial atau perintahperintah keilahian.
Ukuran dan lambang dari kebebasan ini adalah negara berdaulat (sovereign state).
Terakhir, bangsa itu dibayangkan sebagai komunitas, karena –meskipun
ada ketidaksetaraan dan eksploitasi yang mungkin terjadi di dalamnya– bangsa tersebut selalu dipahami sebagai wujud persahabatan yang horizontal dan mendalam.
Pada akhirnya, rasa persaudaraan dan persahabatan inilah yang
memungkinkan jutaan orang, selama dua abad terakhir, bersedia berjuang atau mati untuk suatu bayangan terbatas.
Dalam konteks semacam ini, nasionalisme harus dipahami dengan
mengaitkannya, bukan dengan ideologi-ideologi politik yang dianut secara sadar, melainkan dengan sistem-sistem budaya besar yang mendahului nasionalisme tersebut. Nasionalisme muncul dari sana, dan juga berhadapan dengannya.
Dua sistem budaya yang relevan dalam hal ini adalah komunitas religius dan kerajaan dinastik. Pada masa kejayaannya, kedua sistem budaya ini diterima begitu saja sebagai kerangka rujukan, seperti juga kebangsaan atau nasionalitas pada saat ini.
Nasionalisme bangkit pada zaman ketika cengkeraman aksiomatik
konsepsi-konsepsi budaya mendasar ini mulai kendur terhadap pikiran umat
manusia.
Mengkonstruksi identitas ke-Indonesia-an. Bicara tentang konstruksi identitas ke-Indonesia-an, berarti bicara tentang sejarah panjang, yang tak mungkin terpapar secara utuh dan memuaskan dalam makalah yang pendek ini.
Maka penulis di sini hanya akan mencuplik beberapa fragmen sejarah, yang dianggap penting sebagai contoh, dalam proses mengkonstruksi identitas keindonesiaan dan nasionalisme Indonesia.
Dalam kaitan tersebut, kita tidak bisa melewatkan peristiwa bersejarah pada 28 Oktober 1928, di mana wakil-wakil dari kalangan pemuda dari berbagai etnis dan daerah, berkumpul dan mendeklarasikan Sumpah Pemuda.
Dalam Sumpah Pemuda itu, secara sadar mereka menyatakan komitmen untuk berbangsa, bertanah air, dan berbahasa satu: Indonesia.
Pada masanya, Sumpah Pemuda 1928 ini patut dianggap suatu tindakan
revolusioner. Karena para pemuda ini secara sadar menciptakan sesuatu yang sebelumnya tidak ada, yaitu identitas Indonesia.
Padahal nama “Indonesia”
sendiri adalah temuan seorang ilmuwan asal Skotlandia, yang kemudian diadopsi oleh para tokoh pergerakan kebangsaan.
Konstruksi identitas Indonesia yang dibangun tidak dilandaskan pada
agama tertentu ataupun etnis tertentu. Padahal, dari segi jumlah penduduk saat itu, etnis Jawa adalah yang paling besar jumlahnya. Selain itu, meski belum ada sensus terinci, agama yang terbanyak dianut saat itu tampaknya adalah Islam.
Tidak dipaksakannya bahasa Jawa sebagai bahasa nasional, adalah langkah yang sangat progresif. Diadopsinya bahasa Melayu –yang merupakan bahasa pengantar utama di kepulauan Nusantara saat itu—menjadi bahasa nasional Indonesia, adalah langkah besar dalam mengkonstruksi identitas ke-Indonesia-an. Bahasa Indonesia terbukti bertahan dan digunakan secara meluas
sampai saat ini.
Momen historis penting lain dalam konstruksi identitas keindonesiaan
adalah perumusan dasar negara Pancasila, yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam perumusan dasar negara ini sempat terjadi pergulatan wacana atau tarik-menarik, antara kelompok yang memperjuangkan aspirasi nasionalis sekuler dengan kelompok yang memperjuangkan aspirasi
nasionalis keislaman. Kedua pandangan ini mewarnai Sidang
Pertama Dokuritsu Junbi Cosakai (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan) yang berlangsung dari 29 Mei sampai 1 Juni 1945.
Terbentuklah Panitia Sembilan untuk menyusun Pembukaan UUD. Dalam
Pembukaan UUD yang mereka susun pada 22 Juni 1945, yang dikenal sebagai Piagam Jakarta, Pancasila dirumuskan untuk pertama kalinya sebagai berikut:
(1) Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemelukpemeluknya;
(2) Kemanusiaan yang adil dan beradab;
(3) Persatuan Indonesia;
(4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; dan
(5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.
Dalam prosesnya kemudian, akibat penolakan wakil kelompok nonMuslim, kalimat “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi para pemeluk-pemeluknya” itu dihapus, dan jadilah Pancasila dengan susunan seperti yang kita kenal sekarang.( Awing )
Discussion about this post