Sumedang (BR).- Sekolah jangan coba-coba buat kebijakan jual beli Lembar Kerja Siswa (LKS) berkedok pihak ketiga. Pasalnya, jual beli LKS telah melanggar Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 75/2016 tentang Komite Sekolah Pasal 12 ayat 1.
Sisi lain, jelas bertentangan juga dengan pasal 181 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 menerangkan ;
“Bahwa Pendidik, Tenaga kependidikan dan Komite sekolah di satuan pendidikan, baik perseorangan maupun kolektif dilarang melakukan kegiatan pengadaan atau menjual buku LKS di setiap satuan pendidikan, perlengkapan pelajaran, bahan pelajaran serta pakaian seragam di tingkat pendidikan.”
Dimana, praktik jual beli LKS merupakan salah satu Pungutan Liar (Pungli) yang dilakukan pihak sekolah biasanya bekerjasama dengan penerbit atau pihak ketiga lainnya.
Menurut keterangan orang tua/wali murid mereka mengeluhkan yang selalu dibebani dengan adanya transaksi penjualan Lembar Kerja Siswa (LKS).
“Kami sangat keberatan dan terbebani atas kebijakan oknum guru yang kerap mengarahkan dan mengintruksikan untuk beli LKS berdalih dari pihak ketiga,. Padahal setahu kami hanya guru lah yang wajib berpedoman kepada LKS,” kata salah seorang wali murid yang tidak mau disebutkan jatidirinya.
Hal tersebut, mencoreng citra baik dunia pendidikan dan diduga terjadi di SMAN 2, yakni di jalan 11 April Km 3, Rancamulya, Sumedang Utara.
Atas dasar pengakuan dari salah seorang oknum guru, dirinya dengan nyata-nyata mengakui telah menyarankan anak didiknya membeli buku dari pihak ketiga.
“Saya Ugaya, ketika saya masuk ke kelas anak-anak sudah membeli buku (LKS),” teranganya dengan nada lantang, sambil menunjuk ketuk-ketukan papan nama di seragam PNS nya, kepada bandungraya.net, saat berada di lingkungan sekolah tersebut.
Diakuinya, bahwa buku dari pemerintah tidak memadai sehingga Ugaya menyarankan anak didiknya membeli buku LKS.
“Saya anjurkan kepada anak-anak untuk kompak beli LKS, belinya dan harganya pun saya tidak tahu,” aku Ugaya, dengan nada kesal terhadap klarifikasi wartawan.
Pantauan bandungraya.net, diawal hanya sebatas klarifikasi memenuhi kewajiban sesuai kode etik wartawan dengan dibekali legalitas dan media yang jelas guna mengkonfirmasi atas keluhan beberapa orang tua siswa yang merasa resah dan terbebani dengan kebijakan oknum guru tentang jual beli buku (LKS).
Kendati begitul, niatnya berminat menemui salah satu Wakasek inisial A.J, nanun di lobi sekolah dijegal oknum guru bernama Ugaya, mengaku berwenang sebagai pemangku kebijakan atas beredarnya buku LKS tersebut.
“Kalian (wartawan) tau definisi penjual ngga, saya cuma menyarankan beli dari pihak ketiga. Nanti saya panggilkan anak-anak yang membeli bukunya (LKS),” hardiknya dengan nada marah, gayanya seolah preman dan jauh dari tata bahasa guru pengajar.
Ironisnya, seorang guru adalah figur panutan tentu seharusnya santun dalam berbahasa. Tapi ini malah sebaliknya, terkesan melecehkan tugas jurnalistik yang datang hendak memenuhi kewajibannya. (BR-11)
Discussion about this post