Cimahi (BR).- Sumber air bawah tanah di wilayah Kota Cimahi masuk zona merah. Penyebabnya lantaran eksploitasi berlebihan yang dilakukan, terutama oleh industri. Agar air bawah tanah tidak terus dieksploitasi, Pemkot Cimahi menyiapkan sejumlah langkah.
Sebelumnya, berdasarkan hasil kajian Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan (PATGL) Badan Geologi, kondisi muka air tanah di Bandung Raya masuk kategori kritis, dibuktikan dengan penurunan muka air tanah sekitar 60-100 meter.
“Kita masuk kategori zona merah kajian terakhir. Kondisi air bawah tanahnya sudah kritis,” ungkap Kepala Dinas Perumahan dan Kawasan Pemukiman (DPKP) Kota Cimahi, Endang, Minggu (26/2/2023).
Menurut Endang, Pemkot Cimahi kini sudah tidak lagi melakukan eksploitasi air bawah tanah. Selain itu, pihaknya juga meminta industri di Kota Cimahi untuk tidak melakukan hal serupa.
DPKP bersama stakeholder terkait seperti Dinas Lingkungan Hidup akan melakukan pengawasan terkait aktivitas industri.
“Industri pun sudah tidak boleh buat sumur baru. Makanya nanti kita perlu adanya kerja sama lintas sektor,” ujarnya.
Endang mengatakan, agar air bawah tanah tidak terus dieksploitasi, pihaknya sudah menyiapkan solusinya. Terutama untuk pemenuhan air bersih bagi warga, agar Kota Cimahi terhindar dari ancaman kekeringan.
Di antaranya dengan membuat sumur imbuhan yang sementara ini baru terdapat di Kelurahan Pasirkaliki, Cimahi Utara, dan Kelurahan Baros, Kecamatan Cimahi Tengah. Sumur imbuhan dibuat untuk menampung air yang nantinya bisa diolah dan dimanfaatkan warga.
Selain itu, Pemkot Cimahi juga terus memperbanyak cakupan pelayanan air bersih dari jaringan perpipaan. Seperti yang dilayani dari Sistem Pengolahan Air Minum (SPAM) yang dikelola BLUD Air Minum Kota Cimahi.
“Kapasitas pengolahannya rencana akan kita tambah dari 50 liter per detik menjadi 80 liter per detik, sehingga warga yang dilayani semakin bertambah,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Laboratorium Geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB), Heri Andreas mengatakan, eksploitasi yang terus menerus dilakukan bisa mempercepat terjadinya kekeringan. Namun hal itu baru berdasar pada hipotesis yang belum dimodelkan.
“Iya bisa jadi mempercepat, bisa dipastikan 2050 aquifernya pada rusak, karena aquifer itu ada yang aquifer atas yang tidak tertekan kemudian aquifer bawah tertekan, bawahnya lagi tertekan, 2 lebih bawahnya lagi tertekan, biasanya sampai 4 aquifer,” ungkap Heri. (BR.01)
Discussion about this post