“Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah periode saat ini, penuh dengan kepalsuan. Pelbagai ketetapan dan kebijakan lebih banyak diputuskan lewat kompromi ditingkat ketua DPRD dengan Bupati. Lembaga legislatif yang dimotori oleh ketuanya dari Partai Golkar, tak lebih hanya “membebek” terhadap keinginan legislatif. Fungsi dan peran DPRD sebagai lembaga kolektif kolegial lebih banyak dikesampingkan.” Demikian, pendapat Tavinur, tokoh pergerakan masyarakat di Kabupaten Bandung yang akrab di panggil Kang Tevi.
“Coba anda bayangkan. Terlalu banyak persoalan yang tidak pernah tuntas di tingkat tataran kebijakan atau pun implementasi. Carut marutnya pembagian Bansos Covid-19. Mulai dari pembagian paket bantuan yang jomplang dengan nilai harga beli. Pertanyaannya: dibawa kemana selisihnya? Termasuk ‘gelapnya’ pertanggungjawaban anggaran yang dipergunakan. Makanya, tak heran jika terkait penggunaan anggaran ini lebih banyak ditutupi-tutupi. Jika, pihak eksekutif terbuka, tentu pembetukan Pansus Covid-19 tidak akan digergaji di tengah jalan. Sepertinya eksekutif kalap tatkala pertanyaan memasuki wilayah besaran dan realisasi anggaran Covid-19 ini.” lanjut Kang Tevi.
“Terkait fungsi legislasinya, jangan tanya seberapa banyak produk hukum daerah yang sudah dihasilkan selama periode ini? Apalagi terkait fungsi pengawasannya? Produk hukum mana yang perlu diawasi? Kendati ada sebagian anggota legislatif yang kritis, namun sewaktu memasuki pembahasan di pleno atau paripurna suara-suara mereka tak lebih dari paduan suara. Bila diinventarisir dengan teliti. Cukup banyak penyalahgunaan yang dilakukan eksekutif. Tidak hanya terkait bantuan Covid-19. Misalnya, tentang kemana larinya anggaran uji petik. THR Gate. LKPJ. Pasar Ikan Modern. Pembangunan Sky Walk. Dana CSR. Dan banyak lagi persoalan yang tidak pernah tuntas. Bagi publik Dayeuh Bandung ini menjadi pertanyaan besar.” Sambung Kang Tevi, sambil mengisap rokok kreteknya.
“Fungsi DPRD hanya semacam lembaga pelengkap penderita. Tak heran jika banyak suara di luar yang mengatakan DPRD mandul. Bagi saya tidak hanya mandul, tapi sudah dikebiri. Sudah saatnya DPRD mengagendakan forum dengar pendapat secara rutin dengan kelompok-kelompok in-formal di masyarakat yang kritis dan peduli dengan keberlanjutan pembangunan di Dayeuh Bandung ini. Tetapi, bukan hanya sejenis forum Musrembang yang bersifat elitis dan diarahkan.
Di era keterbukaan dengan majunya arus informasi dan komunikasi, pemerintah daerah seharusnya lebih sigap dan respon terhadap partisipasi publik, bukan malah membungkamnya. Masyarakat Dayeuh Bandung sudah cukup cerdas dan kritis menyikapi pelbagai kebijakan pembangunan daerah. Jika setiap keputusan terkait kebijakan hanya diputuskan lewat kompromi bupati dan ketua DPRD saja, ini ibarat memasang bom waktu yang akan meledak sebagi bentuk kekecewaan masyarakat. Sebagai representasi suara rakyat, DPRD memang harus menjadi Watch Dog, alias Anjing Penjaga bagi masyarakatnya.” Pungkas Kang Tevi.***
Discussion about this post