Bandung (BR).- Pemberhentian Bupati Jember yang viral diberbagai media mendapat tanggapan pakar otonomi daerah yang juga sebagai pengamat politik dan dosen disalah satu perguruan tinggi yang ada dikab. Bandung.
Menurut H Djamu Kertabudi, pada bandungraya. net mengatakan hal yang cukup tragis yang dialami Bupati Jember, Faida (pemimpin pertama petempuan), menjelang akhir masa jabatannya (2016-2021) hasil pilkada 2015, dimakzulkan oleh DPRD Kab. Jember.
Ucap orang akrab disapa Kang Djamu ini, lantas berwenang kah DPRD memberhentikan Kepala Daerah ?, untuk menjawab pertanyaan ini perlu dilihat dari pendekatan politik dan hukum.
Koalisi partai pengusung Faida beserta pasangannya saat pilkada 2015 hanya memiliki kekuatan minoritas (17 kursi) di DPRD, sedangkan pesaingnya diusung oleh kekuatan mayoritas (33 kursi), ujar Djamu.
Diutarakan Djamu Kertabudi, proses penyelenggaraan pemerintahan Daerah berjalan penuh dinamika, dari sisi positif dengan konfigurasi politik seperti ini “check & balance” penyelenggaraan pemerintahan Daerah akan menemukan bentuk semestinya, namun dalam konteks politik praktis ada kalanya hubungan kepala daerah dan DPRD sebagai mitra kerja terganggu karenanya.
Menurutnya, kemudian secara normatif apabila Dewan menemukan sesuatu yang diduga Kepala Daerah melakukan pelanggaran terhadap implementasi Perda dan peraturan diatasnya, maka Dewan dapat menggunakan Haknya melalui Hak Interpelasi (hak mengajukan pertanyaan) kepada Kepala Daerah.
Lebih jauh Kang Djamu, menuturkan apabila hak jawab yang dilakukan Kepala Daerah tidak memuaskan Dewan, maka dapat berlanjut ke tahap II yaitu hak Angket (hak penyelidikan) melalui pembentukan Pansus untuk melakukan penyelidikan terhadap Kepala Daerah beserta perangkat Daerah lainnya, kata Dia.
Apabila Pansus dalam melaksanakan tugasnya menemukan dugaan pelanggaran berat, maka dapat dilanjutkan pada tahap Pernyataan Pendapat DPRD tentang Rekomendasi pemberhentian Kepala Daerah.
Naskah Pernyataan Pendapat ini sebelum disampaikan secara prosedural kepada Pemerintah Pusat, harus diajukan terlebih dahulu kepada Mahkamah Agung guna dilakukan yudicial review. MA berwenang menolak atau mengabulkan permohonan yang diajukan DPRD. Apabila MA menolak maka Rekomendasi DPRD berakhir disini, atau tidak bisa dilanjutkan lagi, papar Kang Djamu.
Kalimat akhir yang disampaikan pakar otonomi daerah dan pengamat politik serta seorang dosen perguruan tinggi ini dengan demikian, peristiwa ini dapat menjadi referensi khususnya bagi para kandidat yang akan maju pada pilkada 2020 ini, dan tentunya penting untuk disimak bagi unsur publik, pungkas Kang Djamu. ( red**)
Discussion about this post