Dadang Supriatna (DS), tereleminasi pencalonan bupati Dayeuh Bandung dari Partai Golkar. Peluangnya diserobot oleh Kurnia Agustina Naser, istri sang bupati, yang notabene kader dadakan di partai beringin. DS kecewa? Sebagai manusia biasa, wajar jika ia kecewa. Kecewa ala “anak kampung Tegal Luar Bojong Soang”. Menggunakan bahasa “satire” dalam pengungkapkannya. “Saya seperti dikhianati”, katanya.
” Bukan hanya DS, para kader partai beringin di Dayeuh Bandung mungkin juga merasakan hal yang sama. Kecewa “!
Kekecewaan DS, tanpa kompensasi struktural dan deal politik dengan Partai Golkar. Kalaupun ada, sangat tepat jika DS menolaknya. Penolakan DS bisa jadi referensi bagi pendidikan karakter politisi.
Pertama, bagi DS ini soal harga diri. Selama ini, dunia politik kita sudah tak kenal harga diri.
Kedua, soal prinsip. Secara prinsip, kapasitas dan kapabilitas DS lebih layak maju dari pada Nia. Prinsip ini harus di pegang teguh, tanpa memberi ruang untuk dinegosiasi.
Ketiga, DS mesti sadar bahwa ini urusan pribadi dengan partai, bukan urusan negara. Jadi, Ia harus menentukan sikap.
Atas perlakuan itu, wajar jika akhirnya DS menentukan sikap dan hengkang dari Partai Golkar. Harus diakui partai ini telah membesarkan dan mematangkannya. Setelah “bergerilya” dan mempertimbangkan dengan seksama, pilihan dan kesepakatan berlabuh ke Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Dari PKB DS memperoleh tiket pencalonan bupati melalui koalisi dengan Partai Nasdem dan Partai Demokrat. Sudah fix koalisi ini? Entahlah? Sulit memprediksi koalisi ini permanen hingga resmi mendaftar ke KPU.
Perjalanan menuju KPU itu sangat rentan, penuh “bujukan dan rayuan” yang dapat memecahkan koalisi. Maklum, pendidikan karakter para politisi kita belum menyentuh komitmen nurani terdalam.
Kita jangan dulu sinis, bicara bahwa ini soal ambisi politik. Apalagi membahasakan dengan penghianatan partai. Lagu seperti ini sudah ga laku di negeri ini. Kultur politik kita masih absurd.
Jauh dari etika dan kepatutan. Apalagi undang-undang politik kita juga belum mengakomodir segenap aspirasi masyarakat. Soal pindah partai, di negeri ini sesuatu lazim. Gerak kekuasaan itu sangat dinamis. Ia berkaki, dan kekuasaan itu harus diperjuangkan. Harus direbut.
Lantas, mengapa DS begitu ngotot nyalon bupati. Sedikitnya ada 3 alasan yang mendasarinya. Pertama, beberapa hasil survey dan poling jajak pendapat publik, namanya selalu diunggulkan. Kedua, DS memiliki perjalanan karier politik cukup matang yang menempanya layak menjadi bupati.
Ketiga, derasnya arus dukungan atas pencalonan dari berbagai elemen masyarakat. Tetapi, di atas kertas, dasar ketiga alasan ini masih belum kuat. Dalam kerja politik, pemetaan pemilih dan kesolidan tim dalam menangkap suara menjadi kunci utama.
Apakah langkah ke depan DS akan aman? Belum! Jika terjadi kecenderungan tiga atau empat pasangan, disparitas suara akan sangat ketat.
Perlombaan meyakinkan pemilih menguat. Ini berlaku juga untuk pasangan calon lainnya. Apalagi suasana Covid-19 membatasi pengerahan massa. Kampanye pola dor to dor atau maksimalisasi kanal media sosial menjadi alternatif.
Simpelnya, sebagai ekspektasi terhadap perolehan suara di pilkada nanti, mungkin DS bisa berangkat dari hasil perolehan suaranya di pileg 2019. Plus otak-atik penambahan suara dari kepopuleran pasangannya, Syahrul Gunawan. Nyaris 35% pemilih pemula juga mesti mejadi perhatian. Bisa jadi, pada titik ini pasangan DS-Syahrul dapat dipersonifikan sebagai “kuda hitam” bagi pasangan lainnya.
Apakah pasangan DS-Syahrul ini akan memberi harapan bagi perubahan Dayeuh Bandung yang lebih baik? Pelajari tawaran programnya. Jejak rekamnya. Jika memang pilihan terbaik ada di DS-Syahrul.
Keputusan ada di tangan anda untuk menetapkan pilihan. Lima tahun masa pemerintahan, memang pendek. Tapi, lima tahun itu sangat bermakna bagi langkah-langlah selanjutnya. (red**)
Discussion about this post