Sumedang (BR).- Tanjung Duriat “datarannya berbentuk tanjung” kata Duriat itu sendiri berasal dari Bahasa Sunda yang artinya kasih sayang. Spot wisata ini, berdiri dilahan Perum Perhutani, hasil kerjasama Perum Perhutani KPH Sumedang bersama CV. Campernik (pengembang) dan LMDH Desa Pajagan.
Hal itu, dibenarkan oleh Manager Tanjung Duriat Nanang Sutarna, ketika ditemui bandungraya.net di kantornya, Minggu 23 Januari 2022.
Tak ayal, Nanang pun menepis adanya isu ijin lingkungan dan polemik antara pihak pengembang dengan warga masyarakat Pajagan. Dimana menurutnya semua hanyalah adanya perbedaan persepsi saja.
“Status lahan tanah Tanjung Duriat berada di Kawasan Hutan lindung, cuma berbatasan dengan lahan IPPKH. Terkait perijinan sudah tuntas kami penuhi, dan bila ada masyarakat yang mengatakan kami tidak berijin dari mana sumbernya ?” sanggahnya.
Lebih lanjut, kata Nanang, hal ini sesuai Surat Keputusan Direksi Nomor 760/ KPTS/DIR/2018 tentang pedoman kerjasama pemanfaatan hutan.
“Kami memberikan akses kepada masyarakat luas khususnya masyarakat desa hutan untuk berkreasi, berinovatif dan berkarya untuk menggali potensi kawasan hutan dan bersinergi dengan perhutani untuk mengelola kawasan hutan dengan skema kerjasama yang saling menguntungkan,” terangnya.
Nandang menuturkan, dalam hal pengembangan industri pariwisata Tanjung Duriat, pihaknya telah memberdayakan dan melibatkan masyarakat lokal terdampak Bendungan Jatigede, khususnya warga Pajagan.
“Kami merpersilahkan mereka bekerjasama untuk berjualan di stand yang tersedia dan memberikan akses tiket gratis dengan menunjukan KTP beridentitas Pajagan. Selain itu juga, kami selau menyisihkan keuntungan berbagi melalui dana Corporate Social Responsibility (CSR) yang didapat,” ungkapnya.
Sejak awal, sambungnya, telah terjalin kerjasama yang baik dengan masyarakat dan pemerintahan setempat melalui Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH).
“Adapun, aturan kesepakatan bagi hasilnya per dua minggu sekali, yakni 50 persen bagi pengembang, 40 persen untuk Perhutani, dan 10 persen bagi LMDH,” jelas Nanang.
Menurutnya, mungkin visi pengembangan itu sendiri yang belum nyambung dengan masyarakat. Semua harus memahami aturan alih fungsi dari tata kelola hutan lindung menjadi kawasan pariwisata.
“Semoga kedepannya dapat terjalin lagi kerjasama yang lebih harmonis sesuai perannya, sehingga jangan semua beban ditanggung pihak pengembang. Dan untuk bantuan permodalan pun, berharap ada kepedulian dari Pemkab Sumedang serta Dinas terkait,” tukasnya. (BR 11)
Discussion about this post