Oleh : Kang Tevi –Pemerhati Politik dan Kebijakan Publik.
Yena mungkin bukan siapa-siapa tanpa lebel “Masoem” dibelakang namanya. Nama yang menjadi branding saudagar sukses, khususnya di Jawa Barat. Kendati bukan orang pertama trah Masoem yang terjun ke gelanggang politik, kali ini menjualkah brand Masoem diusung Yena?
Ini yang terjadi. Hari ini (11/08/2020), nama Yena bersanding dengan Atep, atlet sepak bola Persib, resmi ditetapkan PDIP koalisi dengan PAN, sebagai kandidat bupati dan wakil bupati liga Pilkada Dayeuh Bandung 2020.
Jadi, dapat dipastikan, ada 2 Srikandi bertarung, Yena Masoem dengan Nia Naser. Kedua nama ini, boleh dikata berangkat dari kultur berbeda, bisnis dengan politik. Namun, fakta di lapangan, tautan antara bisnis dan politik ini sangat cair. Politik ekonomi dan ekonomi politik, ibarat dua mata uang tak terpisahkan.
Pasangan lain, Dadang Supritna (DS) dengan Syahrul Gunawan. Pasangan ini sudah dideklarasikan, namun terkesan masih bersifat sektoral. Kekokohan koalisi parpol pengusung, PKB, Partai Nasdem dan Partai Demokrat, masih terlihat rentan perpecahan. Persoalannya, PKS yang mengusung Gun Gun, masih intens melakukan pendekatan ke Partai Demokrat.
Oleh karena itu, kerja keras DS-Syahrul mempertahankan kesolidan koalisi parpol pengusung menjadi kunci utama. Ini bukan perkara sederhana. Parpol kita memang masih gampang terbujuk. Apalagi jika sudah memasuki wilayah transaksional. Jika koalisi 3 parpol ini bertahan hingga pendaftaran ke KPU, nasib tragis memang dialami PKS, jika akhirnya ternyata harus menjadi penonton.
Lantas, bagaimana jika PKS berkoalisi dengan Partai Gerindra? Ada kemungkinan jika PKS mau menerima calon orang kedua yang diajukan Gerindra. Tapi, prediksi saya kecil kemungkinan. Gerindra sudah jauh hari diikat Partai Golkar, untuk mengusung Pasangan Nia-Yogi. Selama ini keeratan Golkar-gerindra sangat kuat. Sampai-sampai ada pandangan bahwa rasa Gerindra lebih Golkar dari rasa Golkar sendiri. Entahlah.
Kantong-Kantong Suara Yena-Atep
Menarik mencoba mencermati pemetaan suara masing-masing pasangan. Sebenarnya, parpol papan atas seperti Golkar, PDIP dan PKS, telah memiliki modal suara awal (militant voters) jika merujuk hasil Pilpres, Pilleg atau hasil pilkada sebelumnya. Perolehan suara ini didapatkan karena keeratan emosional dengan parpol itu.
Ada zonasi-zonasi (daerah pemilihan) tertentu yang menujukkan begitu kuatnya pengaruh parpol tersebut. Selain sulit membelokkan ketetapan pilihan mereka, pengaruh ini seperti sudah menjadi pakem tradisi dalam keluarga dan lingkungan sekitar. Tinggallah bagaimana masing-masing kandidat me-maintenance keberadaan mereka.
2,4 juta suara pemilih tengah diperebutkan dalam pilkada kali ini. Target 70% pemilih mendatangi bilik suara sudah dipandang maksimal. Pasangan Yena-Atep, sejatinya telah memiliki modal dasar suara awal dalam berkontestasi, yakni suara militan yang merupakan suara fanatik PDIP.
Mengamati gurita jaringan bisnis keluarga Masoem, secara kasat mata kita dapat menilainya sebagai potensi perolehan suara. Sejumlah pekerja dan keluarga besar di bawah naungan bisnis dan jaringan sosial Masoem, diproyeksikan mampu mengatrol perolehan suara Pasangan Yena-Atep. Yena juga dapat memetakan perolehan suaranya melalui asosiasi profesi apoteker yang dipimpinnya, dipadukan dengan magnet Atep dikalangan supporter Persib.
Ada sejumlah jaringan bisnis dan sosial dapat diidentifikasi. Mulai dari jaringan pekerja dan keluarga SPBU Masoem, Kelompok pengecer BBM, oli dan gas, serta sejumlah apoteker yang tergabung asosiasi apoteker. Potensi suara lainnya seperti jaringan sekolah setingkat SD, SMP, SMA serta perguruan tinggi dibawah kendali manajemen Masoem.
Termasuk pesantren-pesantren dibawah panji Masoem. Jaringan Nasabah BPR Masoem, supir-supir angkutan umum serta keterkaitan dan interkoneksi himpunan keluarga besar Masoem, akan sangat memberi arti bagi upaya meloloskan pasangan Yena-Atep, jika betul-betul dikelola secara optimal. Mungkin, potensi-potensi inilah yang membuat Yena tetap ngebet mencalonkan diri sebagai kandidat bupati di Dayeuh Bandung.
Semua gambaran tersebut, di atas kertas memang terkesan mudah dan sederhana. Namun, kerja politik bukan persoalan untung-rugi. Memberi keyakinan pemilih, kendati terikat dalam jaringan kerja, tetap saja memerlukan pendekatan dan metode tersendiri. Apapun jalannya, Yena dan Atep sudah memutuskan, maka jalanilah, termasuk resiko terburuk sekalipun.***
Sukamenak, 11 Agustus 2020
Discussion about this post