Ada varian baru bacalon bupati dan wakil bupati dalam liga pilkada Dayeuh Bandung kali ini (seperti nampak dalam baliho di atas). Ini trend menarik. Dan, tentunya rezim dinasti semakin gerah. Perlawanan “anak kampung” Sapan Tegal Luar Bojongsoang ini, memang bisa dikata cukup merepotkan rezim dinasti.
Sebenarnya, dia bisa dibilang “Putera Makota.” Namun, nampaknya sulit bagi rezim dinasti untuk ”mengendalikannya.” Dia terlalu licin untuk dipegang, dan kerap menyimpang dari arahan. Mereka mungkin sudah menganggapnya “Brutus.” Tetapi, ini tak membuatnya bergeming.
Apalagi didukung poling beberapa lembaga survey, yang menempatkannya dalam posisi di tiga besar. Kendati demikian, saya hanya berharap, dia jangan sampai terperangkap pertumbuhan statistik poling-polingan yang sangat rapuh dan berlaku tentatif. Statistik poling ini tak layak sepenuhnya dijadikan acuan, karena ia bisa saja mereduksi kebenaran dan nilai-nilai subjektivitas yang tinggi. Selama logika politik tidak mengandalkan fanatisme dari kaum oportunis yang mengitarinya, kita akan mampu mencernanya sebagai fanatisme ideologi fleksibel .
“Dia” juga tetap harus banyak belajar dari senior-senior terdahulunya sesama yang pernah bernaung di bawah pohon beringin, yang karena konflik interest meruncing dengan kehendak dinasti, akhirnya harus terlempar dari gelanggang dan memilih gerbong lain. Laki-laki yang berkiprah dari bawah ini, nampaknya sudah memertimbangkan sejauh ini langkah-langkah yang dijalaninya.
Apalagi, jika dia mau sowan dan berkonsultasi kepada senior-seniornya ini, agar tidak terjerumus di lubang yang sama dengan senior-seniornya. Lebih bijak lagi jika dapat menarik mereka ke dalam skuadnya, minimal sebagai moral forces. Saya memprediksi nampaknya ini sudah dilakukannya.
Namun, logika politik memang begitu cair. Keputusan politik memang sangat lentur. Ada adagium politik “jangan melihat lawan anda dari perspektif sendiri, kendati anda merasa memiliki full kekuatan.” Ini kerap yang dikesampingkan Partai Golkar (PG) di Dayeuh Bandung. Menurunnya suara PG di pileg kemarin, serta hengkangnya beberapa personil potensial PG (tanpa harus menyebut nama-nama mereka) menunjukkan rezim dinasti terlalu memaksakan kehendaknya.
Ditambah lagi kentalnya politik identitas di pucuk pimpinan PG, menyebabkan rekruitmen politik di PG menjadi mandeg. Kuasa personal terlalu kuat dan oligarki telah mencengkeram PG. Selain berakibat dapat membusukkan organisasi dari dalam, pola begini justru akan merusak dan semakin menjauhkan PG dari suara-suara tradisionalnya dan mengurangi militansinya.
Mayoritas masyarakat sudah semakin cerdas dan pandai membaca kondisi. Dan, nampaknya kekuatan logistik tidak akan sepenuhnya mampu menjawab persoalan ini. Jika kaum oportunis yang mengelilingi PG lebih banyak bersifat bandwagon effect, yakni mereka yang memiliki orientasi ideologis yang jelas, namun hanya ikut-ikut kemana angin berhembus, ini akan berakibat buruk bagi PG sendiri. Jika ini yang berlaku, saya cenderung mengatakan sekuat apapun PG akan sulit mendapatkan performanya kembali.
Banyak potensi sosok potensil di PG yang terpental, akan menjadi masalah baru yang yang mesti diselesaikan oleh rezim ini. kekisruhan di internal, akan semakin membuat peluang yang diusung rezim dinasti semakin kecil. Apalagi sosok ini, selain memiliki cantolan kuat dalam jenjang partai, mereka juga memiliki kekuatan bargaining yang memaksa.
Ini hanya hitungan kertas sederhana. Hati orang siapa yang tahu. Wallahualam. Billahi Filsabil Haq. Wasalamualaikum Wr. Wb. ***
Discussion about this post