Persidangan pengujian Perppu di Mahkamah Konstitusi (MK) sangat dinanti oleh para ‘penggiat hukum’, meskipun pengujian Perppu oleh MK bukanlah hal yang baru, karena MK telah melakukan pengujian terhadap 8 Perppu dari 27 permohonan (dengan beberapa permohonan yang sama), dan telah melahirkan 12 Putusan.
Memperhatikan putusan MK atas pengujian perppu, belum satu permohonan pun yang dapat dikabulkan MK, baik secara keseluruhan maupun sebagian, adapun beberapa klasifikasi putusan sebagaimana dimaksud seperti, pertama, menyatakan permohonan tidak dapat diterima karena pemohon tidak mememuhi syarat kedudukan hukum, sebagaimana dalam Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 menguji Perppu No. 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kedua, MK menilai permohonan telah kehilangan objek permohonan, sehingga kedudukan hukum dan pokok permohonan tidak perlu lagi dipertimbangkan, karena Perppu tersebut sudah diterima dalam Rapat Paripurna dan disahkan sebagai Undang-Undang selama proses persidangan di MK berlangsung sebagaimana dalam putusan MK No. 91/PUU-XI/2013 atas permohonan menguji Perppu No. 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas tentang Mahkamah Konstitusi. hal ini sama dengan Perkara No. 92/PUU-XI/2013.
Putusan MK yang serupa juga terjadi pengujian atas 8 (delapan) permohonan terhadap Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota, dan tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sehingga permohonan tidak dapat diterima.
Ketiga, MK menilai permohonan tidak dapat diterima dengan pertimbangan permohonan terhadap pengujian pernah diajukan dalam perkara lain dan telah diputus oleh Mahkamah, antara lain melalui Putusan No. 91/PUU-XI/2013, yaitu terhadap pengujian Perppu No. 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, karena MK mendasarkan pada Pasal 60 ayat (1) UU MK yang menyatakan, “Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali”.
Keempat, permohonan dinyatakan gugur, karena MK telah memangil pemohon secara patut, namun pemohon tidak hadir dalam persidangan MK dalam perkara No. 128/PUU-XII/2014.
Berkaca dari berbagai putusan MK atas pengujian perppu, maka MK dalam menguji Perppu No 1 Tahun 2020 berpotensi menyatakan ‘Permohonan Tidak Dapat Diterima”, sebagaimana dijelaskan dalam putusan MK pada kLasifikasi kedua diatas, karena Perppu No 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara…, telah disetujui DPR, yang dibahas dan disepakati dalam rapat Banggar yang digelar Senin (4/5/2020) malam.
Sehingga dapat dipastikan akan ditetapkan dalam Rapat Paripurna tangal 12 Mei tahun 2020. Dengan dmeikian pemohon telah kehilangan objek permohonan, karena Perppu yang sedang di uji oleh MK telah berubah menjadi UU tentang Penetapan Perppu No 1 Tahun 2020 menjadi UU.
Mekipun MK berwenang menguji Perppu atas tafsirnya dan telah berulang-ulang menlakukan pengujian terhadap Perppuu, namun wewenang ini secara gramatikal tidak dapat ditemukan dalam Pasal 24C UUD 1945, yang pada prinsipnya MK diberikan kewenangan secara limitatif, salah satunya adalah menguji UU terhadap UUD. Dengan demikian, pengujian perppu dalam diskursus akademik masih mengundang perbedaan pandangan, adapun beberapa hal yang menjadi perdebatan adalah sebagai berikut;
Pertama, pada saat MK menafsir wewenangnya dalam rangka menguji Perppu akan beririsan dengan kewenangan DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, bahwa “Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut”. Bagaimana jika MK menyatakan Perppu bertentangan dengan UUD 1945, apakah sekaligus menghilangkan wewenang DPR sebagaimana dimaksud? Bagaimana jika yang dibatalkan hanya pasal atau beberapa pasal, padahal DPR diberikan wewenang memberikan persetujuan terhadap perppu secara komprehensif dan merupakan kewenangan DPR secara original yang tidak dapat didelegasikan atau dibagi-bagi?
Kedua, makna menguji UU terhadap UUD adalah MK menuji secara vertical, namun dalam Dalam putusan MK No. 138/PUU-VII/2009, MK mendasarkan pada pengujian horizontal disebutkan bahwa MK berwenang menguji Perppu dengan alasan sebagai berikut: (a) Kedudukan yang sama antara UU dan Perppu sebagaimana disebutkan dalam UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 7 ayat (1).
Ketiga, bagaimana jika DPR tetap mendasarkan pada pandangannya, bahwa DPR yang secara tegas diberikan wewenang untuk memberikan persetujuan terhadap Perppu oleh UUD (constitutionally entrusted power), maka akan berakibat terjadinya Sengketa Kewenangan Lembaga Negara, yang dalam Pasal 24C UUD 1945 MK diberi wewenang untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, tentunya MK tidak dapat menjadi pemohon atas dirinya dalam SKLN.
Ketempat, apakah perppu yang dianggap bertentangan dengan UUD baik secara keseluruhan atau hanya sebatas pasal-pasalnya saja, dapat dikatakan bertentangan dengan hukum, padahal UUD merupakan sumber hukum, lantas jika dianggap bertentangan dengan hukum, apakah dapat disamakan dengan syarat pemajulan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7A UUD 1945?
Kelima, secara gramatikal, UUD tidak mengenai istilah Perppu, namun dalam Pasal 22 UUD 1945 hanya dikenal isilah peraturan pemerintah sebagai pengganti UU, dengan demikian kedudukannya adalah ‘peraturan pemerintah’ ‘sebagai pengganti UU’, jika dihubungkan dengan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945, bahwa “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”. Maka PP seharusnya merupakan pendelegasian dari UU, namun dalam Pasal 22UUD menyatakan PP sebagai pengganti UU.
Keenam, Pasal 22 ayat 2 UUD, bahwa “Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. Maka makna persetujuan seharusnya memperhatikan Pasal 20 UUD, sehingga pembahasan Perppu dilakasnakan serupa dengan pembahasan UU.
Dari beberapa potensi problem konstiusional tersebut diatas, maka sebaiknya Badan Kajian MPR, terkait dengan kedudukan perppu, dan kewenangan MK dalam menuji Perppu, apakah perlu secara tegas diatur bahwa MK berwenang menguji UU/peraturan perundang-undangan sederajat terhadap UUD, dan apakah tepat istilah peraturan pemerintah sebagai peggangi undang-undang yang dapat bersinggungan dengan pasal 5 ayat (1) atau sebaiknya dilekatkan kepada pasal 4 yang menjadi original function presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah.
Diskursus wewenang MK dalam rangka menguji Perppu hingga saat ini masih menarik untuk diperbincangkan, meskipun fakta yuridisnya MK telah melakukan pengujian terhadap 9 (sembilan) Perppu, bahkan saat ini Perppu No 1 Tahun 2020 sedang dilakukan pengujian oleh MK. Meskipun kewenangan MK dalam Pasal 24C UUD dirumuskan secara limitative, yaitu
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Sehingga dapat dipastikan dalam UUD 1945 tidak mengenal pengujian Perppu oleh MK.
Tidaklah keliru bahwa perubahan UUD dapat dilakukan melalui (1) legislative interpretation, yakni penafsiran otentik atau resmi lembaga pembentuk terhadap sejumlah pengertian dalam undang-undang. (2) melalui judicial interpretation, yaitu penafsiran yang dilakukan oleh lembaga yudisial terhadap ketentuan undang-undang. Namun juga harus seyogyanya efek konstutusionalisme dari penafsiran tersebut harus menjadi sandaran utama, apalagi lembaga penafsir diletakan sebagai penjaga konstitusi (The Guardian of Constitution) yang bemakna segala kewenangannya harus berdasarkan atas Undang-Undang Dasar 1945. ( red**)
MK Berpotensi Tidak Mengabulkan Permohonan Terhadap Pengujian Perpu No. 1 Tahun 2020
Discussion about this post