Dari teori dan pendapat ahli tersebut tersebut, dapat dipahami bahwa kartu-kartu yang berisi nominal uang tersebut dapat dikatakan sebagai perbuatan melanggar hukum (politik uang) karena memiliki nilai nominal dan diberikan kepada masyarakat yang tujuannya mempengaruhi perolehan suara. Dari teori dan pendapat ahli tersebut juga dapat disimpulkan bahwa jika pelanggaran tersebut terbukti MK sangat berwenang untuk membatalkan hasil pemilu dan mendiskualifikasi pasangan calon yang melanggar.
Dengan demikian, berdasarkan jalanya persidangan, teori dan pendapat ahli, kartu-kartu yang berisi nominal uang tersebut dapat dikatakan sebagai politik uang karena meskipun tidak tunai, kartu tersebut tertera nominal rupiah dan diberikan kepada masyarakat se-Kabupaten Bandung pada masa kampanye. Dengan bukti politik uang yang dirasa kuat tersebut, MK memutuskan sidang berlanjut ke tahap berikutnya yaitu agenda keterangan saksi dan pemeriksaan alat bukti.
Kedua, terkait ambang batas untuk pengajuan permohonan sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi. Meskipun selisih ambang batas perolehan suara antara paslon 01 (Nia-Usman) dan paslon 03 (Dadang-Syahrul) yaitu sebesar 25.16% (417.189 suara) di mana selisih pada perkara a quo sangat jauh melebihi ambang batas pengajuan sengketa yang disyaratkan dalam Pasal 158 ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 2016. Menurut Mantan Hakim MK Maruarar Siahaan, pasal tersebut berlaku jika proses Pilkada berlangsung secara benar tanpa terjadinya pelanggaran.
Pada saat persidangan, dipaparkan bukti-bukti pelanggaran dan bukti tambahan yang dilakukan oleh Paslon 03 (Dadang-Syahrul). Meskipun tim hukum dan tim ahli pasangan 03 membantah dan memberikan keterangan. Karena dianggap bukti pelanggaran yang diberikan paslon 01 kuat, MK memutuskan untuk memeriksa bukti lainnya (penemuan sembako dan uang tunai dalam mobil box grandmax) dan memutuskan ambang batas dikesampingkan dikarenakan adanya dugaan pelanggaran dilihat dari bukti-bukti lainnya.
Discussion about this post