GARUT, (BR.NET) – Pengamat Kebijakan dan Informasi Strategis (Pakis) Galih F. Qurbany mengamati tentang kinerja Aparatur Sipil Negara (ASN) Pemda Garut yang bermental ngabudi ucing dan nyo’o kanjut.
“Jika Dante Alighieri menulis Divine Comedy (komedi ilahi tentang perjalanan ke neraka) di Garut hari ini, ia mungkin akan menambahkan satu lingkaran neraka lagi khusus untuk para ASN tempat di mana mereka yang bermental ngabudi ucing (bersikap manis di depan, menghianat di belakang—seperti memelihara kucing yang bisa mencakar sewaktu-waktu) berdampingan dengan mereka yang suka nyo’o kanjut (bekerja malas dan tidak total, seolah menarik-narik ekor kerbau—berat, lamban, tak ada semangat),” katanya. Kamis (8/5/2025).
Tragis, tapi nyata, imbuh dia, birokrasi kita bukan mesin pelayanan publik, tapi panggung opera penuh aktor licik yang jago memainkan drama loyalitas palsu.
“Jika Shakespeare hidup di Garut, Hamlet (tokoh tragis yang terus bimbang antara kebenaran dan pengkhianatan) akan berkata, “To serve or to sabotage, that is the real question” (melayani atau mensabotase, itulah pertanyaan sejati),” ujarnya.
Galih mengatakan, Rudy Gunawan, mantan bupati dua periode, pernah berkata blak-blakan: birokrasi kita bukan rusak, tapi busuk dari akar sampai pucuk.
“Bukan cuma melihat, dia hidup dan menyaksikan sendiri pengkhianatan birokrat bermuka dua. Di depan bupati: “Siap, komandan!” Tapi di belakang: rapat gelap, sabotase anggaran, akrobat anggaran dan loyalitas semu,” ungkapnya.
Dikatakan dia, istilah ngabudi ucing dan nyo’o kanjut adalah autopsi kultural atas jenazah birokrasi yang kehilangan ruh pelayanan. ASN (Aparatur Sipil Negara) hari ini lebih mirip makhluk politik ber-atribut PNS daripada pelayan rakyat. Mereka bekerja bukan berdasarkan kinerja, tapi berdasarkan siapa yang mereka puja.
Fenomena ini, lanjut dia, adalah hasil dari bureaucratic path dependency (ketergantungan sistemik pada pola lama yang sudah terbukti gagal), warisan kekuasaan yang terus melahirkan zombi administratif hadir tapi tidak hidup, bekerja tapi tak bernyawa.
“Solusi? Bukan sekadar e-governance (digitalisasi pemerintahan) atau perampingan birokrasi. Kita perlu eksorsisme kultural (pengusiran setan mental dan budaya buruk) dari tubuh ASN. Garut butuh revolusi mental yang nyata, bukan sekadar jargon kampanye. Audit harus menyentuh bukan hanya laporan keuangan, tapi juga nurani dan integritas,” katanya.
Kini, sorotan tertuju pada duet Syakur Amin–Putri Karlina. Mampukah mereka menjadi algojo budaya nyo’o kanjut dan ngabudi ucing? Atau mereka justru akan jadi boneka baru yang dimainkan dalang lama di balik layar dinas?
“Jika tak ada gebrakan radikal, mereka akan sekadar catatan kaki dalam sejarah. Tapi bila berani membersihkan meja-meja kotor itu, mereka bisa menulis babak baru pemerintahan yang benar-benar melayani,” ucapnya.
Karena sesungguhnya, dikatakan dia, satu ASN jujur lebih berharga dari seribu pegawai yang pandai berkata “Siap!” tapi hatinya penuh tipu daya: “Berapa bagian saya?”
“Ahirnya kita berharap, bahwa Bupati Dr.Ir.H.Syakur Amin M.Eng.IPU , yang belatar belakang Akademis, Teknoratik menjadi pemegang Komando Sabda pandito Ratu, yang membumi begitupun wakil Bupati, drg.hj.Lutifianissa Putri Karlina MBA. jadi Penyempurna terhadap mozaik birokrasi yang berserakan tanpa bentuk,” pungkasnya.(Dadang).
Discussion about this post